Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - Bams sedang berikhtiar untuk menayangkan SATU per SATU PUISI dari SEMBILAN rincian PUISI tentang MASA DEPAN. Semoga bermanfaat. 🙏🙏

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah Peringkat # 1 ========================================== Puji TUHAN atas IDE yang Engkau alirkan DERAS ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Monolog 2: Perpisahan

27 Mei 2021   19:00 Diperbarui: 27 Mei 2021   19:22 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi merupakan dokumen karya pribadi (Karya Bambang Syairudin)

Monolog 2: Perpisahan
 
Anakku, setelah nanti engkau tahu makna perjumpaan, ketahuilah pula makna perpisahan. Dulu, saat nenek pekalonganmu meninggal, ayahmu tiba-tiba tidak bisa menggambarkan kesedihan yang amat sangat, justru setelah selang seminggu-dua minggu kepergiannya itu. Oh, ya...anakku, perlu kau ketahui bahwa kakek pekalonganmu meninggal ketika ayahmu ini berusia sekitar 3 tahun. Sedang Mbah Kakung Nggalek sudah meninggal sebelum ayahmu mengenal ibumu.

Kembali kita ke persoalan kesedihan itu, ayahmu hanya bisa menulis puisi, yang ayah beri judul seperti ini, anakku:

PADANG KEMATIAN I
: Buat almarhumah ibuku
 
Ketika engkau datang kemari terakhir kali
Sorot matamu meragukan cintaku
Engkau bawakan baju, selendang, popok buat cucumu
Kata istriku, engkau mengharapkan perhatianku
 
Di ruang tengah ketika kita bergurau bersama engkau jatuh
Dengan tenaga yang tersisa engkau perlahan bangkit
Senyummu masih mengembang
Cahaya rindumu masih berpendar hiasi seluruh dinding-dinding rumah
Oleh istriku dipenuhilah rindumu padaku di tengah kesibukanku mencari nafkah
Engkau bilang, din ora ngurusi aku
Di ruang samping dekat musala, kudapati engkau sering melamun
Dan mengatakan tak akan pernah kesini kembali
Sejak itu engkau selalu meminta sub menjemputmu kembali
Kutawari engkau agar sabar dahulu menunggu kelahiran cucumu yang kata dokter tinggal beberapa hari lagi
Sorot matamu menangisi harapanmu
 
Jumat Sub datang
Pagi-pagi engkau bersalam-salaman dengan tetangga kanan-kiri
Engkau meminta maaf kepada setiap orang yang engkau jumpai
 
Sabtu bersama Sub engkau hendak pulang
Ku lepas kepergianmu di depan rumah, karena kesibukanku aku tak bisa mengantarkanmu sampai ke bungurasih
Perut istriku, engkau elus sambil mendoakan keselamatan kelahirannya kelak
Sebelum berangkat engkau masih menyempatkan diri meminta maaf kepada istriku dan aku
 
Hari-hari berlalu begitu saja hingga datang berita tentang sakitmu
Kutengok engkau di tengah-tengah kesibukanku
Sorot matamu meragukan cintaku
Kata saudara-saudaraku engkau sering mengigau memanggil manggil namaku
Minta didekatkan dengan potret diriku yang terpampang di tembok dekat pembaringanmu
Ketika aku bertemu, engkau tiada bisa berkata-kata lagi
Hanya sorot matamu itu yang masih meragukan cintaku
Hanya sorot matamu itu yang masih merindukan pertemuan panjang
Seperti ketika aku masih kanak-kanak dulu
Seperti ketika aku masih mahasiswa dahulu
Seperti ketika aku masih sempat berjalan-jalan, berekreasi bersama-sama dahulu
Seperti ketika aku masih sempat sering pulang kampung dahulu
Seperti ketika seluruh anggota keluarga masih rukun, guyub, dan bersatu
 
Sehari setelah berjumpa kukuatkan diriku kembali ke Surabaya karna ada pekerjaan yang harus aku selesaikan
 
Sore hari, aku terima telpon tentang kepergianmu menghadap illahi
 
Ibu, kembali aku datang memenuhi rindumu
Kupandang wajahmu cantik, ayu dengan sekilas senyum dan cahaya perpisahan
Rupanya engkau memenuhi permintaanku terakhir ketika aku meminta engkau tersenyum saat engkau dalam keadaan koma.
 
Ibu, maafkan segala dosa-dosaku padamu
Kosong batin ini
Suwung semesta ruang dan dentang jam tak berhenti memproses kita menjadi tua
Masa lalu menyeruak ke dalam rembesan airmata yang jatuh di pipi satu-satu.

 

 
PADANG KEMATIAN II
: Buat almarhumah ibuku
 
Telah kuantarkan dikau
Di tepi pembaringanmu
Yang dalam, kelam tanpa dasar
 
Seusai kerumunan ini menghilang
Kuingin kita berbincang-bincang dahulu
Tentang kebisuan abadi
Yang melanda dirimu
 
Tak hendak kutinggalkan dikau
Sepi sendiri
 
Mengapa darahmupun berhenti mengalir (?)
 
Rasanya antara kita baru bertemu kemarin saja
Dan kukira kita tiada pernah akan berpisah
Perpisahan tanpa bentuk
 
Mengapa kau diam saja (?)
Tidak seperti dahulu kau bicara banyak
Apakah engkau hendak mengatakan padaku
Bahwa akhir dari semua pembicaraan adalah diam
Dan akhir dari diam adalah keabadian
Dan akhir dari keabadian adalah kesunyian

 
 
Nah, begitulah anakku, sesudah engkau membacanya cobalah engkau rasakan perambatan permenunganmu tentang apa itu hakekat perpisahan.

Anakku, kalau perjumpaan adalah awal penciptaan semesta segala dan segala semesta, dan seperti telah ayahmu sampaikan tadi bahwa perjumpaan tidak dapat dibatasi hanya oleh kesadaran kita, maka hakekat perpisahan justru ada pada pembatas kesadaran itu sendiri. Artinya ketika engkau mulai melihat perjumpaan dari sudut pandang kesadaran, maka perpisahan siap menghadang engkau di belakang waktu. 

Pada saat itu engkau sedang berhadapan dengan garis yang di batasi oleh ujung dan pangkal. Janganlah lupa anakku, hakekat waktu dan ruang adalah garis adalah kesadaran. 

Pandanglah suatu perpisahan dengan sudut pandang jiwamu, jangan dengan kesadaranmu. Karena jiwamu adalah awal perjumpaanmu tanpa akhir. Garis itu hakekatnya tidak ada, yang ada adalah kesadaran yang memunculkan hingga garis itu ada; dan kesadaran yang memunculkan garis itu hakekatnya juga tidak ada, yang ada adalah jiwamu, anakku....dan apakah jiwamu itu ada, anakku?

Jawabnya adalah: tidak ada anakku. Ada dari yang tidak ada itu adalah perjumpaanmu. Sekali lagi, anakku, perjumpaanmu....

Filasafia, anakku sayang , jika secara terpaksa engkau harus memandang perpisahan dengan kaca mata kesadaran, maka engkau akan berkenalan dengan realitas suka dan duka, sedih dan senang, sebagaimana ketika ayahmu berpisah dengan nenek pekalonganmu, dan ketika suatu saat aku berpisah denganmu, dengan ibumu, engkau dengan ibumu, dan segala perpisahanmu dengan segala yang kamu cintai.
Tangis dan tawa itu akan menjadi garis yang nampak di pelupuk matamu, anakku.

Dan kelak, terserah engkau bagaimana engkau akan memandangi perpisahanmu denganku dan dengan ibumu, anakku.....

Anakku, pernahkah engkau membayangkan antara dirimu dan Tuhanmu dikaitkan dengan hakekat perjumpaan dan perpisahaan ? Dapatkah engkau menghindar dari cakupan kemahabesaran Tuhanmu itu, melainkan dengan kesadaranmu yang sesungguhnya semu itu ?

Dan, anakku, pernahkah engkau membayangkan antara dirimu dan aku serta ibumu dikaitkan dengan hakekat perjumpaan dan perpisahaan ? Dapatkah engkau menghindar dari cakupan kasih sayangku dan kasih sayang ibumu, melainkan dengan kesadaranmu yang sesungguhnya semu itu ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun