Mohon tunggu...
bambang riyadi
bambang riyadi Mohon Tunggu... Praktisi ISO Management Sistem dan Compliance

Disclaimer: Informasi dalam artikel ini hanya untuk tujuan umum. Kami tidak bertanggung jawab atas tindakan yang diambil berdasarkan informasi ini. Konsultasikan dengan profesional sebelum membuat keputusan. Kami tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari penggunaan informasi ini. Artikel lainnya bisa dilihat pada : www.effiqiso.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Momen yang Tak Terbeli: Saat Hujan, Payung Rusak, dan Seorang Taksi Driver Berhenti Tanpa Diminta

5 September 2025   05:21 Diperbarui: 5 September 2025   05:21 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hujan deras payungku rusak | Canva

Hujan deras, Jakarta macet, dan payungku rusak. 

Kalau kamu pernah mengalami kombinasi ini, kamu tahu rasanya seperti dihukum oleh alam semesta. Hari itu, Jumat sore, sekitar pukul setengah enam. Aku baru keluar dari stasiun setelah seharian meeting dadakan, rapat Zoom yang gak kelar-kelar, dan belum sempat makan siang. Badan lelah, pikiran kusut, dan ponsel tinggal 10%. 

Lalu, pas keluar dari peron... plak. Payungku rusak. Tiangnya patah, kainnya melipat sendiri kayak orang menyerah. Hujan langsung nyemplak ke kepala. Aku berdiri di tepi trotoar, basah kuyup, kayak iklan sampo yang gagal. 

Aku pengin nangis. Tapi gengsi. 

Aku pengin ngomel. Tapi malas. 

Aku cuma berdiri di sana, nunggu taksi lewat atau doa dikabulkan. 

Dan tiba-tiba, sebuah taksi warna silver berhenti pelan di depanku. Bukan taksi online, tapi taksi kota biasa. Kaca jendelanya turun pelan. 

"Pulang, Mas? Naik aja, saya antar." 

Aku bengong. "Tapi... saya belum pesan." 

"Ya gak usah pesan. Lihat Mas basah semua. Nanti sakit." 

Tanpa banyak tanya, aku masuk. Bau taksi bersih, AC nyaman, dan supirnya --- seorang bapak paruh baya dengan kumis tipis dan seragam rapi --- langsung nyapa ramah. 

"Hujan gini paling nggak enak buat pejalan kaki. Apalagi kalau lagi capek." 

Aku cuma bisa manggut. Rasanya... aneh. Tapi aneh yang nyaman. Seperti ketemu teman lama yang tahu kamu lagi butuh pelukan, tapi nggak bilang-bilang. 

Selama perjalanan, kami ngobrol. Tidak soal politik atau harga bensin, tapi soal anaknya yang kuliah di Semarang, soal hujan yang belakangan makin sering, dan soal kerjaan yang kadang bikin stres. 

"Anak saya bilang, Papa, kalau capek, istirahat dulu. Nggak usah dipaksain," katanya sambil nyengir. "Saya bilang, iya, Nak. Tapi kan harus kerja. Tapi ya... kalau lihat orang lagi kesusahan, saya juga pengin bantu. Siapa tahu Tuhan kasih pahala." 

Aku diam. 

Dan di tengah macet yang bikin emosi, aku merasa... tenang. 

Saat sampai di depan rumah, aku kasih uang pas. Dia malah geleng-geleng. 

"Nggak usah, Mas. Nggak jauh kok. Saya senang bisa bantu." 

Aku masih ngotot. "Ini bukan soal jauh, Pak. Ini soal usaha Bapak mau berhenti buat saya." 

Akhirnya dia terima, tapi pas aku turun, dia bilang pelan, 

"Yang penting sabar, Mas. Kadang Tuhan kasih ujian lewat hujan, tapi selalu ada taksi yang lewat." 

Aku cuma bisa senyum. 

---

Beberapa tahun sudah berlalu sejak hari itu. 

Aku nggak tahu nama bapak itu. Nggak tahu nomor taksi-nya. Bahkan wajahnya mulai kabur di memori. 

Tapi aku masih ingat perasaannya. 

Perasaan dihargai. Dilihat. Dibantu, tanpa diminta. 

Dan aku jadi mikir: apa ini yang disebut "one in a million moment"?

Bukan momen di atas panggung, bukan saat terima penghargaan, bukan saat liburan ke luar negeri. 

Tapi saat hujan, payung rusak, dan seseorang berhenti hanya karena dia peduli. 

Mungkin "one in a million moment" itu bukan tentang sesuatu yang spektakuler. 

Tapi tentang sesuatu yang tulus. 

Momen yang datang tanpa rencana, tanpa kamera, tanpa caption medsos. 

Momen yang cuma bisa dirasakan --- bukan dipamerkan. 

---

Sekarang, kalau hujan, aku selalu bawa payung cadangan. 

Bukan cuma buat diriku. 

Tapi kalau lihat ada yang basah, aku pengin bisa jadi "taksi di tengah hujan" buat orang lain. 

Karena ternyata, manusia paling berarti bukan yang paling kaya atau terkenal. 

Tapi yang mampir, meski cuma sebentar. 

Yang peduli, meski cuma lewat. 

Yang tersenyum, meski cuma sekali. 

Dan mungkin, hari ini, kamu bisa jadi momen "one in a million" buat seseorang. 

Tanpa sadar. 

Seperti bapak taksi itu. 

Yang entah di mana sekarang, tapi masih hidup di hatiku --- sebagai pelangi di tengah hujan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun