Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Integrasi Program MBG dengan Kantin Sekolah Merupakan Solusi Terbaik Mengatasi Keracunan Makanan

20 September 2025   10:31 Diperbarui: 20 September 2025   12:58 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi makanan sehat | Sumber gambar: Qearl Hu/unsplash

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu kebijakan besar yang diharapkan mampu mengatasi masalah gizi anak-anak Indonesia. Tujuan utamanya sederhana namun krusial: memastikan setiap anak di sekolah mendapatkan asupan makanan yang cukup, sehat, dan bergizi. Dengan begitu, mereka bisa belajar lebih baik, tumbuh optimal, dan memiliki masa depan yang cerah.

Namun, dalam perjalanan implementasinya, muncul tantangan serius yang tidak bisa diabaikan. Tantangan ini bukan sekadar soal logistik atau ketersediaan bahan baku, melainkan juga soal keberadaan kantin sekolah yang selama ini menjadi denyut nadi ekonomi mikro di lingkungan pendidikan. Hampir setiap sekolah di Indonesia memiliki kantin, biasanya diisi oleh tenant-tenant yang menjual beragam makanan dan minuman.

Jika program MBG berjalan dengan pola dapur terpusat, makanan dikirim dari luar, dan siswa mendapat jatah gratis, maka muncul pertanyaan besar: apa kabar nasib tenant-tenant kantin itu? Apakah mereka akan tersisih, kehilangan penghasilan, atau justru bisa ikut diberdayakan dalam program? 

Pertanyaan inilah yang menjadi inti dari diskusi besar tentang integrasi MBG dengan sistem kantin sekolah. Sekaligus, ini merupakan lanjutan solusi dari artikel saya yang berjudul "Darurat Keracunan Makanan".

Kantin Sekolah, Lebih dari Sekadar Tempat Jual Beli

Kantin sekolah tidak hanya tempat membeli makanan. Ia adalah bagian dari ekosistem sosial dan ekonomi di sekitar sekolah. Tenant kantin umumnya berasal dari warga sekitar, ibu-ibu rumah tangga, atau pedagang kecil yang menjadikan kantin sebagai sumber penghasilan utama. Keberadaan mereka bukan hanya menyuplai makanan, tetapi juga memberi lapangan kerja dan menggerakkan roda ekonomi lokal.

Bagi siswa, kantin juga punya fungsi sosial. Di sanalah mereka berkumpul, bersosialisasi, atau sekadar menikmati camilan ringan bersama teman. Kantin adalah ruang interaksi penting yang tidak bisa digantikan oleh sekadar dapur distribusi makanan.

Dengan kata lain, keberadaan kantin sekolah menyentuh dimensi gizi, ekonomi, dan sosial. Maka, setiap perubahan kebijakan pangan sekolah harus mempertimbangkan tiga dimensi ini secara bersamaan.

Risiko Konflik antara MBG dan Tenant

Program MBG membawa potensi konflik karena memberi makanan gratis kepada siswa. Jika makanan pokok seperti nasi, lauk, dan sayur sudah tersedia secara cuma-cuma, maka permintaan terhadap makanan sejenis yang dijual tenant akan menurun drastis. Tenant berpotensi kehilangan pendapatan, bahkan gulung tikar.

Di sisi lain, meniadakan tenant sama saja dengan menghapus mata pencaharian masyarakat kecil. Ini bisa menimbulkan resistensi sosial, terutama di daerah di mana kantin sekolah menjadi sumber penghasilan penting bagi keluarga.

Maka, perlu solusi integratif. MBG tidak boleh dilihat hanya sebagai program gizi, tetapi juga program sosial-ekonomi.

Kabar baiknya, konflik ini bisa diubah menjadi peluang. Alih-alih melihat tenant sebagai kompetitor, mereka justru bisa dijadikan mitra. Beberapa peluang integrasi yang bisa dilakukan adalah:

1. Tenant sebagai Mitra Produksi

Tenant dilibatkan langsung dalam proses pengolahan makanan MBG. Mereka dilatih dan diberi standar keamanan pangan yang jelas, kemudian diberi tanggung jawab memasak menu tertentu di dapur sekolah. Dengan begitu, kualitas makanan tetap terjamin, sementara tenant tetap memiliki penghasilan.

2. Diversifikasi Produk

MBG bisa fokus pada menu utama (nasi, lauk, sayur, buah), sementara tenant menjual produk tambahan bernutrisi seperti susu, roti, buah potong, atau camilan sehat. Dengan diversifikasi ini, siswa tetap memiliki pilihan untuk membeli makanan tambahan, dan tenant mendapatkan ceruk pasar baru yang tidak tumpang tindih dengan MBG.

3. Skema Subsidi Bahan Baku

Tenant bisa diberi akses bahan baku bersubsidi oleh sekolah atau pemerintah. Dengan harga bahan baku lebih murah, mereka bisa menjual produk sehat dengan harga terjangkau. Skema ini juga memastikan bahan baku yang digunakan sesuai standar MBG.

4. Rotasi Menu Bersama Tenant

Dapur MBG bisa mengatur jadwal rotasi menu yang melibatkan tenant. Misalnya, tenant A bertanggung jawab menyediakan lauk di hari Senin, tenant B di hari Selasa, dan seterusnya. Dengan cara ini, semua tenant mendapat giliran berpartisipasi dalam sistem MBG.

Dampak Positif dari Integrasi

Jika tenant kantin diintegrasikan ke dalam MBG, maka beberapa dampak positif bisa tercapai.

  • Ekonomi lokal terjaga: tenant tetap mendapat penghasilan, bahkan bisa meningkat karena pasar mereka stabil (siswa sekolah adalah konsumen pasti).

  • Keamanan pangan lebih baik: dengan standar MBG, makanan tenant ikut diawasi sehingga lebih higienis dan sehat.

  • Sosial lebih harmonis: masyarakat sekitar merasa dilibatkan, bukan disingkirkan. Hubungan sekolah dan komunitas tetap kuat.

  • Siswa mendapat variasi makanan: MBG memberi makanan pokok, tenant menambah pilihan camilan sehat.

Pelajaran dari Negara Lain

Beberapa negara maju menunjukkan bagaimana integrasi ini bisa berhasil. Jepang, misalnya, menjalankan sistem "kyushoku" atau makan siang sekolah yang dikelola langsung oleh sekolah dengan keterlibatan komunitas. Orangtua, guru, bahkan siswa ikut serta dalam persiapan dan penyajian. Hasilnya bukan hanya gizi yang terjamin, tetapi juga tumbuhnya budaya kebersamaan.

Korea Selatan juga punya pendekatan serupa, di mana sekolah bekerja sama dengan koperasi lokal untuk menyediakan makanan sehat. Model ini memberi ruang bagi masyarakat sekitar untuk tetap berperan, sekaligus menjaga standar kualitas makanan.

Indonesia bisa belajar dari model ini bahwa keberhasilan program pangan sekolah selalu terkait erat dengan pelibatan komunitas lokal.

Agar integrasi tenant ke dalam sistem MBG berhasil, beberapa strategi implementasi perlu disiapkan:

  • Pelatihan wajib bagi semua tenant tentang higienitas, manajemen dapur, dan standar gizi.

  • Audit berkala oleh dinas kesehatan untuk memastikan makanan tetap aman.

  • Skema kontrak kerja sama yang adil, sehingga tenant memiliki kepastian peran dan pendapatan.

  • Pengawasan partisipatif di mana siswa, guru, dan orang tua ikut mengawasi kualitas makanan.

  • Inovasi menu sehat yang melibatkan tenant dalam penyusunan, sehingga makanan tetap menarik dan bervariasi.

Menatap Masa Depan MBG

Program MBG memiliki potensi besar untuk memperbaiki gizi anak-anak Indonesia. Namun, tanpa fondasi sosial yang kuat, program ini bisa menimbulkan masalah baru. Memberdayakan tenant kantin adalah jalan tengah terbaik: gizi anak terjaga, keamanan pangan meningkat, dan ekonomi lokal tetap hidup.

Dengan langkah integratif ini, MBG bukan hanya proyek pangan, tetapi juga proyek pemberdayaan masyarakat. Anak-anak akan tumbuh sehat, masyarakat sekitar tetap berdaya, dan sekolah menjadi pusat ekosistem gizi sekaligus ekonomi yang adil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun