Keamanan pangan lebih baik: dengan standar MBG, makanan tenant ikut diawasi sehingga lebih higienis dan sehat.
Sosial lebih harmonis: masyarakat sekitar merasa dilibatkan, bukan disingkirkan. Hubungan sekolah dan komunitas tetap kuat.
Siswa mendapat variasi makanan: MBG memberi makanan pokok, tenant menambah pilihan camilan sehat.
Pelajaran dari Negara Lain
Beberapa negara maju menunjukkan bagaimana integrasi ini bisa berhasil. Jepang, misalnya, menjalankan sistem "kyushoku" atau makan siang sekolah yang dikelola langsung oleh sekolah dengan keterlibatan komunitas. Orangtua, guru, bahkan siswa ikut serta dalam persiapan dan penyajian. Hasilnya bukan hanya gizi yang terjamin, tetapi juga tumbuhnya budaya kebersamaan.
Korea Selatan juga punya pendekatan serupa, di mana sekolah bekerja sama dengan koperasi lokal untuk menyediakan makanan sehat. Model ini memberi ruang bagi masyarakat sekitar untuk tetap berperan, sekaligus menjaga standar kualitas makanan.
Indonesia bisa belajar dari model ini bahwa keberhasilan program pangan sekolah selalu terkait erat dengan pelibatan komunitas lokal.
Agar integrasi tenant ke dalam sistem MBG berhasil, beberapa strategi implementasi perlu disiapkan:
Pelatihan wajib bagi semua tenant tentang higienitas, manajemen dapur, dan standar gizi.
Audit berkala oleh dinas kesehatan untuk memastikan makanan tetap aman.
Skema kontrak kerja sama yang adil, sehingga tenant memiliki kepastian peran dan pendapatan.
Pengawasan partisipatif di mana siswa, guru, dan orang tua ikut mengawasi kualitas makanan.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!