Wacana kedaulatan pangan menekankan pentingnya hak masyarakat untuk menentukan sistem pangan mereka sendiri, termasuk produksi, distribusi, dan konsumsi. Namun dalam praktiknya, sistem pangan kita justru menyempitkan pilihan. Meskipun Indonesia memiliki lebih dari 77 jenis sumber karbohidrat lokal, seperti dicatat Badan Pangan Nasional, hanya beras yang secara sistematis didukung oleh subsidi, distribusi, dan regulasi harga.
Program bantuan sosial seperti BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) hingga bansos darurat hanya menyalurkan beras, telur, dan minyak goreng. Tidak ada singkong, sagu, atau ubi dalam paket tersebut. Supermarket modern pun lebih banyak menyediakan beras dalam berbagai merek premium, sementara produk pangan lokal sulit ditemukan dan minim promosi.
Padahal, data BPS menunjukkan tren peningkatan konsumsi pangan non-beras. Selama 2013–2022, konsumsi gaplek naik 27%, talas 14%, kentang 7%, singkong 6%, dan ubi jalar 5%. Ini bukti bahwa ketika akses dan edukasi tersedia, masyarakat mulai terbuka pada keragaman sumber pangan (BPS, 2022). Namun, tanpa dukungan sistemik, tren ini bisa stagnan.
Ketika negara bergantung pada satu jenis pangan, maka gangguan produksi bisa berujung krisis. Tahun 2023 menjadi alarm besar: produksi beras nasional anjlok akibat El Niño dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif. Luas panen menyusut 2,2%, dan produksi turun 1,84% dibanding tahun sebelumnya, hanya mencapai 30,89 juta ton (BPS, 2024).
Kondisi ini memaksa pemerintah membuka keran impor beras sebesar 3 juta ton. Hingga September 2023 saja, Indonesia telah mengimpor 1,7 juta ton beras (Kompas, 2023). Ironisnya, di saat kebutuhan melonjak dan harga naik, pangan lokal yang seharusnya bisa menjadi penyangga malah terabaikan.
Padahal, saudara-saudara kita di luar sana mengonsumsi sumber karbohidrat selain nasi. Saudara kita dari timur menikmati hidangan seperti papeda, umbi, dan mungkin bisa dibilang hampir tidak mendengar berita kelangkaan beras di sana.
Semuanya tersentralisasi di pulau jawa dan seakan menjadi berita nasional. Padahal, jika kita juga fokus dalam pengembangan sektor bahan pangan lainnya, kemudian pihak dari pemerintah seperti Kemenkes atau Dinkes setempat dalam mensosialisasikan bahan pangan alternatif, dan juga peranan Badan Pangan Nasional untuk memberdayakan sumber pangan lainnya.
Memberikan edukasi kepada keluarga baru yang nantinya akan diturunkan ke generasi yang baru, saya rasa cukup efektif untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran bahwa kita, di Indonesia, tidak kekurangan bahan pangan alternatif. Jadi, ketika terjadi kesulitan sumber karbohidrat seperti beras (yang akan menjadi nasi), yasudah, kita bisa berdayakan sumber pangan lainnya.
Sagu di Papua dan Maluku, singkong di Jawa, dan jagung di Nusa Tenggara punya potensi besar untuk memperkuat ketahanan pangan wilayah. Tapi sistem distribusi dan harga tidak memberi ruang yang adil. Petani enggan menanam selain padi karena tak ada jaminan pembeli dan harga. Masyarakat sulit beralih karena produk alternatif jarang tersedia dan tidak dipromosikan.
Saatnya Memberi Ruang untuk Memilih
Pertanyaan yang layak diajukan bukan hanya: “Kenapa masyarakat Indonesia enggan makan selain nasi?”, tapi juga: “Apakah sistem memberi mereka peluang yang adil untuk memilih?”
Pilihan makanan adalah hasil dari proses panjang interaksi antara selera, ekonomi, budaya, dan kebijakan publik. Jika nasi terus didorong sebagai satu-satunya pilihan yang aman, murah, dan tersedia, maka pilihan lain tidak akan tumbuh. Kedaulatan pangan berarti: