Membahas tentang cita-cita kita mengenai swasembada pangan, tentu saja yang terbesit pertama kali di pikiran adalah keberhasilan kita sebagai negara yang melakukan swasembada beras pada era pemerintahan Presiden Kedua kita, Bapak Soeharto. Pada saat itu, Indonesia menjadi negara yang berhasil dalam sektor pertanian, sehingga kita bisa melakukan swasembada yang artinya kita dapat memenuhi kebutuhan pangan saat itu.
Bayangkan betapa maju dunia pertanian saat itu dan sejalan dengan negara kita yang merupakan negara agraris. Istilah negara agraris ini menggambarkan kehidupan negara kita tidak jauh dari dunia pertanian.
Dunia pertanian tentu berkaitan dengan kondisi alam yang subur, sehingga menurut saya pribadi, pemberdayaan sektor pertanian, tentu bisa menjadi ladang bisnis yang menjanjikan mengingat kebutuhan pangan dunia juga semakin meningkat.
Kita ini negara yang tidak kekurangan bahan pangan. Banyak sekali bahan pangan yang dapat kita konsumsi, dari produk serealia seperti nasi, sorgum, jelai, kemudian produk karbohidrat lainnya, yaitu sagu, kentang, umbi-umbian, dan masih banyak lainnya. Tapi, kenapa harus nasi? Apakah kita ini betul-betul hanya mengonsumsi nasi? Kenapa tidak kita coba galakkan untuk swasembada singkong, sagu, jagung, sorgum, gelai, kentang, atau bahan pangan lainnya? Sumber karbohidrat, sumber pangan lainnya ada banyak macamnya loh.
Memang kenyataannya, nasi telah lama menempati posisi istimewa dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Nasi bukan sekedar makanan pokok, tetapi bagian dari identitas budaya, simbol kemakmuran, dan bahkan alat stabilitas politik.
Di warteg hingga hotel bintang lima, dari ritual adat hingga kampanye politik, nasi itu akan selalu hadir di hadapan kita. Namun, di tengah perdebatan soal kedaulatan pangan dan krisis ketergantungan terhadap satu komoditas, muncul pertanyaan mendasar: Apakah benar masyarakat Indonesia memilih nasi karena selera, atau karena sistem yang telah membentuk preferensi itu selama puluhan tahun?
Kenapa Nasi?
Menurut Badan Pusat Statistik (2022), rata-rata konsumsi beras nasional mencapai sekitar 96 kilogram per kapita per tahun. Angka ini menunjukkan betapa tingginya ketergantungan masyarakat terhadap beras, bahkan lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Di balik dominasi ini, ada sejarah panjang intervensi kebijakan negara terhadap sistem pangan nasional.
Sejak era Orde Baru, program Revolusi Hijau mendorong industrialisasi pertanian padi: dari penggunaan benih unggul, pupuk kimia, irigasi skala besar, hingga pembentukan Bulog yang bertugas menyerap gabah dan menjaga harga beras. Dalam ekosistem tersebut, padi bukan hanya tanaman, tapi komoditas politik. Negara menjadikannya indikator keberhasilan, simbol ketahanan pangan, bahkan alat legitimasi kekuasaan.
Kampanye gizi nasional sejak tahun 1950-an—seperti “4 Sehat 5 Sempurna” dan “Nasi adalah Energi” ini sangat mengakar kuat di sekolah dan media massa. Hasilnya, masyarakat secara kolektif menyerap keyakinan bahwa makan sehat dan lengkap harus disertai nasi. Alternatif lain seperti jagung, ubi, singkong, dan sagu, yang sebelumnya dominan di banyak wilayah Nusantara, dipinggirkan dan dilabeli sebagai makanan kelas dua, makanan darurat, atau makanan orang miskin.