Mohon tunggu...
Mahdiya Az Zahra
Mahdiya Az Zahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - lifetime learner

Mompreneur yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kurikulum Pendidikan Indonesia

3 April 2017   12:28 Diperbarui: 4 April 2017   15:25 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pendidikan indonesia (eurekapendidikan.com)

Indonesia bisa dibilang cukup maju dibidang pendidikan. Indonesia memiliki kurikulum yang rinci dan ter-updatesetiap periode. Kini permasalahan orang miskin tak bisa sekolah pun mulai diatasi dengan banyaknya beasiswa yang disediakan oleh pemerintah. Beasiswa SD hingga perguruan tinggi. Namun demikian, ketika seorang pelajar SMA kelas 3 menghadapi masa kelulusan, mereka akan mulai bingung.

Ya. Bingung.

Bingung tentang apa yang akan mereka pilih. Bagaimana tidak? Pada waktu SD, siswa diwajibkan mempelajari begitu banyak mata pelajaran, dilanjutkan SMP yang juga begitu banyaknya, kemudian SMA kelas 1 yang makin banyak dan setelah kelas 2 mata pelajaran mulai difokuskan pada pilihan siswa. Apakah IPS, IPA, atau bahasa. Pada pilihan ini mata pelajaran akan begitu berat dan lebih dalam dipelajari.

Setelah lulus dan memutuskan untuk mengambil ujian serentak masuk PT, siswa tak bisa lagi pindah ke jurusan lain, atau paling tidak butuh ekstra tenaga untuk mengambil IPC. Untuk IPA ke IPS masih dapat dipelajari secara singkat, namun untuk IPS ke IPA perlu banyak waktu untuk mempelajarinya. Jadi, pilihan paling aman adalah sudah memutuskan jurusan yang akan diambil ketika masih kelas 1 SMA agar tak salah pilih.

Namun permasalahannya adalah bagaimana seorang siswa bisa menentukan apa pilihannya, apa bakatnya ketika mereka dihadapkan pada begitu banyak mata pelajaran dalam waktu yang lama dan harus memilih pada jangka waktu yang singkat. Yang ada, siswa akan kewalahan dan merasa tidak berbakat dalam semua bidang, atau sebaliknya ada siswa yang dapat menguasai semua mata pelajaran namun hasilnya ia tidak fokus pada pilihan dan bakatnya.

Untuk beberapa siswa yang telah diarahkan oleh orang tuanya memang beruntung, missal dalam bidang non akademik seperti atlit, musik, seni, dsb. Untuk yang orang tuanya dokter, biasanya menurun pada anaknya, polisi, tentara, dsb akan menjadi figur yang membanggakan bagi anak-anak.

Namun, bagaimana dengan siswa yang tak memiliki keahlian dalam bidang olahraga, musik, seni dan tidak profesi orang tuanya bukan figur yang diidamkan? Yang ada siswa tersebut akan bimbang dengan segala keputusannya, mudah menerima saran dan kritik dari orang lain yang sebetulnya belum tentu membangun namun malah makin menggoyahkan keputusan.

Coba bayangkan apa yang terjadi bila sejak kecil anak diberi banyak pilihan baik dari bidang akademik maupun non akademik. Kemudian ia akan mencoba segala pilihan dan akan menekuni apa yang kemudian ia sukai. Ia akan fokus pada apa yang ia sukai tanpa perlu mempelajari hal yang tidak perlu dalam bidangnya.

Bagaimana dengan mata pelajaran yang lain? Pada akhirnya semua mata pelajaran bagi seorang atlit, seniman, dsb tidak berguna. Bagi seorang dokter hanya ilmu kedokteran saja yang diperlukan. Ketika kuliah yang dipelajari juga semakin sempit, keahlian pun semakin sempit. Semakin kita mengambil magister dan doktor maka akan dihadapkan pada pilihan lagi di mana pilihan itu akan makin membuat kita memahami betul bidang yang kita pilih namun mempersempit hal di luar bidang tersebut. Misal saja jurusan kimia, pada tingkat sarjana, kimia akan dibagi menjadi berbagai konsentrasi, tergantung kebijakan kampus, ada yang dibagi menjadi pangan, lingkungan, dan material.

Pada hal ini, kimia pangan tak tau menau tentang kimia lingkungan, begitu juga sebaliknya. Padahal masih satu jurusan, apabila nanti sarjana kimia pangan akan terjun di masyarakat dan diminta untuk menyelesaikan masalah lingkungan, maka jawabannya belum tentu bisa, karena pada semester 5 mahasiswa tak mempelajari mata kuliah konsentrasi selain yang dipilihnya. Pada tingkat magister jurusan kimia akan dibagi lagi menjadi kimia organik, analitik, anorganik, dan fisik, begitu seterusnya yang terjadi pada semua jurusan.

Pada akhirnya kita hanya akan mempelajari dan memahami betul sebagian dari apa yang telah dipelajari selama ini. Jika ditotalkan dari SD maka hanya berapa persen yang pada akhirnya dikuasai. Bukan hanya itu, apa yang dikuasai tak akan bergunan jika tak diaplikasikan. Dan seberapa banyak sarjana yang dapat mengaplikasikan ilmunya mengingat begitu banyak pelajaran yang telah dipelajari.

Kembali lagi dengan profesi dimasa depan. Apa yang terjadi bila sejak kecil tak mempelajari mata pelajaran? Baca, tulis, hitung merupakan hal dasar yang perlu dipelajari. Selain itu, setiap orang akan mempelajari sendiri di dunia luar sesuai dengan passionnya. Misal seorang pembalap yang sering bertanding di luar negeri tentu akan mengambil kursus bahasa Inggris tanpa ada yang menyuruh atau memaksa, karena itu adalah keharusan jika ia ingin dapat berkomunikasi dengan baik ketika ia berada di luar negeri. Setiap orang akan mencari tau sendiri tentang apa yang membuatnya penasaran, maka mata pelajaran sebanyak itu tak diperlukan lagi.

Begitulah pandangan saya terkait kurikulum pendidikan Indonesia. Semoga cita-cita saya dapat terwujud yaitu memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan fokus pada bakatnya sejak kecil. Mari jadi bangsa yang cerdas, jadi orang tua, guru, dan masyarakat yang cerdas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun