Perlu untuk dikatakan bahwa meskipun pada setiap pemilu selalu terjadi perkembangan dan peningkatan keterwakilan politik perempuan di parlemen, akan tetapi perkembangan dan peningkatan demikian belum begitu signifikan dan maksimal. Sehingga, fakta-fakta politik demikian semakin memperjelas jarak antara regulasi dengan kenyataan di lapangan. Regulasi menghendaki adanya keterwakilan politik perempuan sekitar 30 persen, sementara fakta politik di lapangan malah membuktikan lain. Seperti pada umumnya, idealitas tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan realitas sebenarnya. Tidak ada perkembangan dan peningkatan yang signifikan. Apakah hal demikian berarti regulasi terlalu bombastis dan terlampau idealis merekayasa persentase hak politik perempuan atau memang ada masalah terkait dengan perempuan dan kerja-kerja politik partai politik?
Tidak Cukup Regulasi
Nampaknya partisipasi politik perempuan tidak cukup hanya dengan sebuah regulasi semacam itu. Toh, kenyataannya ada atau tidak adanya regulasi juga sistem perpolitikan kita membuka ruang selebar-lebarnya bagi hak perempuan untuk ikutan serta mengambil bagian dalam politik. Perihal ini tidak perlu adanya survei dengan melibatkan lembaga survei dan seterusnya. Karena, kenyataannya memang selalu ada keterwakilan perempuan dalam setiap kontestasi politik. Bahkan seringkali kita menyaksikan pada berbagai kanal media banyak anggota legislatif perempuan tampil membicarakan banyak hal terkait dengan tugasnya sesuai komisinya masing-masing.
Apalagi di atas juga sudah dikemukakan bagaimana eksistensi perempuan dalam sejarah perpolitikan kita. Dari setiap tahun politik, keterwakilan perempuan selalu saja ada. Bahkan keterwakilan politik perempuan terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Hal demikian menandakan betapa instansi politik pada umumnya telah dengan baik membuka dan memberikan ruang bagi perempuan untuk ikut serta berpartisipasi dan berkontribusi dalam membangun dan memajukan Indonesia melalui jalur politik. Hal demikian juga sekaligus menandakan adanya kesadaran dan kemajuan yang begitu signifikan bagi perempuan di bidang politik.
Sama dengan regulasi-regulasi lainnya. Sebut saja regulasi terkait dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 junto UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat dengan UU Perkawinan). Perubahan UU Perkawinan disinyalir karena masih cukup banyak terjadinya praktek perkawinan di bawah umur beserta dinamika hukum di dalamnya. Selain menyisakan banyak problem berupa hak pendidikan anak, kesehatan reproduksi hingga KDRT dan kasus perceraian yang berkembang begitu signifikan dari tahun ke tahun. Sehingga, melalui revisi UU Perkawinan diharapkan adanya kesetaraan usia perkawinan antara pasangan laki-laki dan perempuan minimal 19 tahun. Sekaligus juga memberikan akses pendidikan, menjaga kesehatan reproduksi serta menekan dan mencegah terjadinya KDRT dan perceraian dalam institusi perkawinan. Dengan kata lain, UU Perkawinan ini menghendaki tidak boleh ada lagi praktek perkawinan di bawah umur.
Meskipun demikian, pada pasal 7 ayat (2) terdapat “dispensasi” bagi kasus tertentu. Misalnya, kasus kecelakaan lalu lintas alias hamil di luar nikah. Tentunya banyak sekali motif yang menyebabkan terjadinya (peningkatan) kasus hamil di luar nikah. Di antara motif yang paling santer adalah pergaulan bebas, suka sama suka dan pemerkosaan. Namun, sangat boleh jadi ada motif lainnya. Sebut saja motif “mensiasati keadaan”. Hal demikian bisa terjadi karena aturan perkawinan terlalu ketat, misalnya. Contoh, aturan melarang perkawinan antar sesama suku atau beda suku, tetapi statusnya tidak diperbolehkan menikah, yang terjadi pada beberapa sistem adat tertentu. Termasuk di dalamnya adalah sangat bisa saja karena aturan perkawinan yang mencoba membatasi usia perkawinan. Mungkin saja motif semacam ini kedengaran aneh dan tidak akan mungkin terjadi. Akan tetapi, hal demikian juga memiliki probabilitas untuk terjadi. Tentunya untuk memastikannya perlu pengembangan dalam bentuk riset akademik.
Artinya, efektivitas UU Perkawinan demikian tidak berjalan dengan maksimal karena regulasi tersebut tidak disertai dengan pembinaan yang terstruktur, massive dan berkelanjutan. Pihak-pihak yang dipandang memiliki peran di dalamnya tidak menterjemahkan UU Perkawinan dengan kerja-kerja pembinaan. Padahal pembinaan pra perkawinan memiliki kedudukan dan peran yang cukup strategis, bukan saja memberikan informasi terkait dengan persiapan yang mesti dilakukan ketika hendak menikah, akan tetapi juga mengawal moral generasi bangsa. Karena melalui pembinaan tersebut bisa disampaikan hal ihwal terkait dnegan aturan main yang mengatur tentang batas usia perkawinan dan kemudian menjalankan dalam kehidupannya dengan cara mengontrol pergaulan anak-anaknya atau mengingatkan secara khusus hal demikian.
Begitu pula dengan regulasi tentang hak politik perempuan. Bisa diandaikan bahwa spiritnya nyaris sama dengan UU Perkawinan. Karena perempuan dalam dunia politik tidak mendapat hak, akses dan posisi. Bahkan ada semacam diskriminasi terhadap hak-hak politik perempuan dalam institusi politik. Sehingga, mau tidak mau perlu adanya regulasi khusus untuk melegitimasi dan mengawal hak politik perempuan. Itu antara lain landasan sosiologis dan filosofis yang mengilhami lahirnya pelbagai regulasi yang mengatur hak politik perempuan. Regulasi tersebut hendak melawan tirani patriarkal dalam tubuh perpolitikan kita, sekaligus mendorong perempuan untuk mengambil bagian di dalamnya sebagaimana halnya kaum laki-laki selama ini. Bahwa perpolitikan kita tidak berjenis kelamin laki-laki, pun bukan berwatak patriarkal dan diskriminatif. Akan tetapi, wajah perpolitikan kita bersifat egaliter dan emansipatoris. Semua anak bangsa, laki-laki dan perempuan, memiliki hak yang sama untuk akses dan berpartisipasi di dalamnya.
Namun, pada faktanya keterwakilan politik perempuan dalam politik belum begitu signifikan dan maksimal. Keterwakilan perempuan di parlemen misalnya, masih berkutat pada angka 20 persen ke bawah. Kita boleh saja bertanya-tanya apa sesungguhnya yang menjadi masalah dan kendala sehingga partisipasi politik perempuan masih begitu-begitu saja? Padahal sudah ada regulasi yang mengatur hak politik secara khusus dan juga institusi politik telah membuka ruang akses politik yang selebar-lebarnya dan seluas-luasnya bagi perempuan. Makanya, untuk memperkuat keterwakilan politik perempuan di parlemen tidak cukup dan tidak boleh hanya berhenti pada regulasi tentang hak politik semata. Apalagi bersama regulasi itu tanpa ada tindak lanjutnya dalam bentuk kerja-kerja nyata untuk memastikan dan memaksimalkan keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam politik.
Yang Mesti Dilakukan
Pada konteks demikian, ada hal lain yang perlu dilakukan untuk terus meningkatkan partisipasi politik perempuan. Setidak-tidaknya ada beberapa elemen yang sangat berperan penting di dalam mengawal regulasi tentang keterwakilan politik perempuan. Tentunya, hal-hal yang mesti dilakukan ini, baik oleh orang dan lembaga yang dipandang memiliki keterkaitan khusus sekaligus peran strategis di dalamnya, harus bersentuhan langsung dengan ikhtiar untuk mengawal dan memastikan keterwakilan perempuan dalam politik.