Kedua; regulasi yang bersifat khusus. Sampai sejauh ini memang belum ada regulasi yang secara khusus membahas dan mengatur hak politik perempuan. Tidak ada nama regulasi yang berjudul “Undang-undang Hak Politik Perempuan” atau “Undang-undang Keterwakilan Politik Perempuan”. Sekiranya ada aturan yang secara khusus begitu, tentunya menjadi “sejarah” tersendiri dalam politik kebangsaan kita bahkan dunia malahan. Sebab, sampai sejauh ini belum ada aturan khusus yang menggunakan jenis kelamin sebagai grand judulnya. Olehnya, regulasi bersifat khusus dimaksud adalah sebuah regulasi yang di dalamnya memuat pasal-pasal yang menjelaskan dan mengatur hak politik perempuan.
Untuk jenis regulasi ini bisa dilihat pada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus hak politik perempuan. Aturan-aturan dimaksud adalah UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD; UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Semua regulasi ini hendak mengatur hak politik perempuan dalam beberapa segmentasi dan lingkup cakupannya dengan penerapan angka 30 persen sebagai syarat minimal di dalamnya. Lingkup cakupannya berlaku pada tiga institusi politik paling penting, yaitu (struktur) partai politik (pusat maupun di bawahnya), parlemen (DPR RI, DPP, DPRD) dan penyelenggara pemilu (pusat maupun di bawahnya).
Kita ambil contoh hak politik dalam kaitannya dengan keterwakilan perempuan di parlemen. Contoh demikian diambil karena persoalan terkait dengan keterwakilan perempuan di parlemen di pandang agak penting untuk diulik. Pertimbangan sederhananya adalah ternyata tidak mudah menerapkan konsep keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen bila dibandingkan dengan partai politik dan penyelenggara pemilu. Karena, keterwakilan perempuan di parlemen tidak hanya berdasarkan syarat-syarat administratif dengan terdaftar pada setiap kontestasi pemilihan anggota legislatif. Akan tetapi, keterwakilan perempuan 30 persen tersebut selanjutnya ditentukan oleh konstituen politik dalam pemilihan. Sehingga, bisa saja seorang perempuan terdaftar sebagai calon anggota legislatif, namun tidak terpilih menjadi anggota legislatif. Inilah tantangan terberat bagi setiap calon anggota legislatif. Apalagi masing-masing calon juga saling berkompetisi satu sama lain. Bahkan kadang juga saling sikat dan sikut di dalamnya.
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dijelaskan dua mekanisme penting terkait dengan hak politik perempuan. Mekanisme pertama perihal calon anggota legislatif tingkat Kota/Kab., Provinsi hingga Pusat. Untuk mekanisme ini memuat syarat keterwakilan calon perempuan paling sedikit 30 persen (Pasal 53 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu). Artinya, calon anggota legislatif yang terdaftar ikut serta dalam setiap pemilihan legislatif harus menyertakan keterwakilan perempuan di dalamnya paling minimal 30 persen. Sementara mekanisme selanjutnya terkait dengan penentuan posisi perempuan dalam setiap penetapan nomor dan nama-nama calon anggota legislatif pada setiap dapil. Untuk mekanisme ini dikatakan bahwa syarat keterwakilan calon perempuan pada setiap dapil sekurang-kurangnya 1 orang (pasal 55 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu). Misalnya, jika pada dapil terdiri dari tiga calon dengan tiga nomor urut untuk masing-masing partai, maka nomor urut kedua harus diisi oleh seorang calon perempuan.
Aturan-aturan tersebut tidak hanya berbicara tentang kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam politik. Akan tetapi, aturan-aturan ini juga mencoba untuk membuat format khusus terkait dengan kesetaraan. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa tidak cukup hanya dengan adanya aturan yang secara umum mengatur dan menjamin hak-hak politik laki-laki dan perempuan dalam konsep kesetaraan pada umumnya. Akan tetapi, perlu ada sebuah regulasi secara khusus yang mengatur hal ihwal terkait dengan kesetaraan perempuan dalam politik. Dalam konteks demikian, bermunculan pelbagai macam aturan yang mencoba untuk mengformat kesetaraan perempuan dalam politik melalui angka-angka tertentu. Setidak-tidaknya hal semacam itu dimaksudkan untuk memastikan selalu ada keterwakilan perempuan dalam setiap kontestasi politik.
Angka 30 persen yang ditetapkan dalam ragam regulasi tersebut tidak bermaksud (pula) membatasi keterlibatan dan keterwakilan politik perempuan di parlemen hanya sampai di situ saja. Dengan kata lain, konsep kesetaraan dan keterwakilan politik perempuan tidak hanya sampai pada angka 30 persen. Sebab, angka demikian sebagai batasan minimal yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam dunia politik. Sehingga, sangat boleh jadi nantinya bisa sampai fifty-fifty manakala perempuan memiliki peluang yang besar untuk melampaui laki-laki dalam setiap kontestasi politik demokrasi. Pun sangat boleh jadi malah terjadi sebaliknya, yakni tidak ada keterwakilan perempuan karena kalah saing dengan rivalnya dari kalangan laki-laki. Intinya, regulasi demikian merupakan ikhtiar awal untuk merekayasa keterwakilan perempuan dalam politik.
Fakta Politik Keterwakilan Perempuan
Meskipun regulasi mengatur dengan sedemikian rupa perihal hak politik perempuan, namun pada kenyataannya tidak semua hak politik terpenuhi begitu saja. Rupanya bukan semata soal regulasi, akan tetapi juga soal kompetensi dan peluang politik seorang perempuan dalam setiap kontestasi politik. Anggap saja regulasi dan juga cita-cita kita menghendaki adanya keterwakilan perempuan kurang lebih 30 persen dalam politik, namun apakah hal demikian berlaku secara mutlak atau malah bersifat “muqayyad”. Artinya, apakah persyaratan 30 persen tersebut mau tidak mau harus terpenuhi dalam setiap pemilu atau hanya sekedar persyaratan regulatif saja? Atau persyaratan demikian adalah persyaratan regulatif yang disertai dengan pelbagai syarat dan tahapan mekanisme lain di dalamnya?
Misalnya, dalam Pasal 53 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu menghendaki adanya keterwakilan perempuan dalam parlemen harus 30 persen. Melalui aturan itu lalu kemudian masing-masing partai politik mentaksisi agar kiranya ada keterwakilan perempuan dalam setiap jenjang pencalegan, baik tingkat DPRD Kota/Kab., DPRD Prov. maupun DPR RI. Semuanya sudah dipenuhi dan dilakukan partai politik. Bahkan sangat boleh jadi jumlah keterwakilan perempuan melebih batas minamal yang ditetapkan oleh aturan perundang-undangan. Misalkan jumlah calon anggota legislatif tinggi DPR RI yang terdaftar adalah lebih dari 30 persen. Apakah hal demikian harus dan wajib untuk terpenuhi menjadi anggota legislatif?
Makanya, persentase jumlah keterwakilan perempuan dalam politik di parlemen pada setiap pemilu tidak mengalami perkembangan dan peningkatan signifikan. Ada perkembangan dan peningkatan, akan tetapi tidak terlalu signifikan. Untuk mengetahui hal demikian kita bisa menengok pada data-data yang dirilis terkait dengan tingkat keterwakilan politik perempuan di parlemen pada setiap pemilu. Pada pemilu tahun 1999, keterwakilan perempuan di parlemen hanya sebesar 9,0 persen dibandingkan dengan keterwakilan laki-laki sebesar 91,0 persen. Pada pemilu tahun 2004, keterwakilan perempuan hanya sebesar 11,8 persen bila dibandingkan dengan laki-laki sebesar 88,2 persen. Di sini ada perkembangan dan peningkatan keterwakilan perempuan hanya sekitar 2,8 persen.
Sementara pada pemilu tahun 2009, keterwakilan perempuan mengalami perkembangan dan peningkatan 6,2 persen dari pemilu pada tahun 2004. Di sini persentase keterwakilan politik di parlemen sebesar 18 persen. Pada pemilu tahun 2014, keterwakilan perempuan dalam politik hanya sekitar 17,32 persen. Bila dibandingkan dengan pemilu tahun 2009, persentase keterwakilan perempuan pada pemilu 2014 malah mengalami penurunan, walau hanya beberapa digit saja. Namun, hal demikian bisa memberikan gambaran tentang plus minusnya perkembangan politik perempuan dalam setiap tahun politik. Pada pemilu 2019 kemerin, keterwakilan perempuan dalam politik semakin meningkat sekitar 20,87. Berdasarkan data demikian, nampak terlihat bahwa perkembangan dan peningkatan persentase keterwakilan perempuan dalam politik dari tahun ke tahun tidak begitu signifikan dan maksimal. Sebab, berdasarkan data demikian, perkembangan dan peningkatannya paling santer hanya berkisar pada dua sampai enam digit atau persen saja.