Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hak Politik Perempuan: Antara Regulasi dan Fakta Politik

11 Agustus 2023   13:20 Diperbarui: 12 Agustus 2023   19:25 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Azis Maloko

Menjelang pemilu 2024 mendatang bermunculan banyak issu dan diskursus terkait dengan perpolitikan kita. Di antara issu dan diskursus politik dimaksud adalah perihal hak dan keterwakilan politik seorang perempuan. Karena sampai sejauh ini hak politik perempuan belum sepenuhnya diakomodir dan terpenuhi dengan baik dalam sistem perpolitikan kita. Hal demikian dapat terlihat dari kurangnya partisipasi perempuan dalam perpolitikan kita. Pun secara khusus keterwakilan politik seorang perempuan, khususnya di institusi politik yang bernama parlemen, tidak mengalami perkembangan dan peningkatan begitu signifikan dalam setiap pemilu.

Padahal, regulasi kita telah mengatur dan menetapkan hak politik perempuan dalam bentuk angka-angka tertentu. Melalui pelbagai macam aturan yang bertalian langsung dengan hak politik perempuan dijelaskan bahwa keterwakilan politik perempuan pada institusi politik, baik institusi partai politik, penyelenggara pemilu dan parlemen, sekurang-kurangnya 30 persen. Namun, bagaikan pepatah “jauh panggang dari api”, regulasi demikian masih belum begitu menyata sepenuhnya dalam jagat dan atmosfer perpolitikan kita. Di mana belum ada perkembangan dan peningkatan yang begitu signifikan dan maksimal terkait dengan keterwakilan politik perempuan dalam setiap pemilu. Parlemen kita masih dihuni dan didominasi oleh makhluk yang bernama laki-laki. Semoga saja hanya soal jenis kelamin saja, bukan ideologi kelaki-lakian turut serta menghuni dan mendominasinya.

Hak Politik Perempuan dalam Regulasi

Rupa-rupanya hak politik bukan saja menjadi diskursus akademik semata. Pun hak politik bukan semata menjadi tuntutan kultural masyarakat. Juga bukan semata hadir dalam sejarah perpolitikan kita begitu saja. Akan tetapi, hak politik juga diatur sedemikian rupa dalam sebuah regulasi. Regulasi tentang hak politik perempuan boleh dikatakan sebagai panggilan dan tanggungjawab sejarah untuk menjawab problem, kegelisahan dan diskursus terkait dengan hak, posisi dan nasib politik seorang perempuan dalam sejarah perpolitikan kita. Sehingga, eksistensi keberadaan regulasi hak politik perempuan semacam memberikan legitimasi (tambahan) sekaligus angin segar bagi masa depan perempuan dalam dunia perpolitikan kita.

Hak politik perempuan dalam regulasi termanifestasi dalam dua bentuk secara umum. Pertama; regulasi yang bersifat umum. Dalam regulasi ini perempuan memiliki hak politik sebagaimana halnya laki-laki. Perempuan dan laki-laki sebagai warga negara dipandang memiliki kesetaraan kedudukan dalam pelbagai aspek dan lini kehidupan kebangsaan, khususnya politik. Tidak ada ruang diskriminasi di dalamnya. Entah diskriminasi berbasiskan gender (jenis kelamin) maupun etnis, suku, bangsa dan agama sekalipun. Semuanya, laki-laki dan perempuan, diandaikan memiliki kesamaan dalam pelbagai aspek dan lini kehidupan kebangsaan kita.

Manifestasi dari regulasi jenis ini bisa dilihat secara langsung pada tata aturan yang mengatur secara umum tentang kesetaraan warga negara. Misalnya, dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 (sebagai konstitusi tertinggi dalam negara kita), memuat beberapa pasal terkait dengan kesetaraan hak warga negara dalam banyak hal, baik laki-laki maupun perempuan. Di antara pasal dalam UUD 1945 yang dipandang menjadi landasan moral kesetaraan bagi setiap warga negara sekaligus bebas dari pelbagai manifestasi diskriminasi yang terstruktur dan sistematik dalam pelbagai aspek kehidupan, termasuk politik di dalamnya, adalah pasal 28H ayat (2). Dalam pasal ini dijelaskan bahwa “setiap orang berhak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Bahkan jauh sebelumnya, bangsa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan dalam bentuk sebuah regulasi, yakni UU Nomor 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan”. Dalam UU ini diatur sedemikian rupa hal ihwal terkait dengan hak politik perempuan, mulai dari perwujudan kesamaan kedudukan, jaminan persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati dan menduduki posisi jabatan birokrasi dan jaminan partisipasi dalam organisasi politik. Pada titik ini, UU Nomor 68 Tahun 1958 memberikan legitimasi tambahan tentang konsep kesetaraan dan anti diskriminasi yang diatur sedemikian rupa dalam UUD 1945 dalam bentuk norma yang bersifat umum. Meskipun, UU Nomor 68 Tahun 1958 kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan UUD 1945, namun muatan kontennya tidak bertentangan dengan batang tubuh UUD 1945, khususnya berbicara tentang kesetaraan warga negara dalam pelbagai hal.

Dalam teori hirarki konstitusi, jika UUD 1945 sudah mengatur perihal kesetaraan bagi semua warga negara dalam pelbagai hal dan bersamaan dengan itu menolak dengan sangat pelbagai bentuk manifestasi diskriminasi dalam kehidupan kebangsaan, maka seharusnya pelbagai aturan turunnya tidak boleh memuat pasal-pasal yang mengandung unsur-unsur diskriminasi di dalamnya. Entah aturan turunannya itu berbentuk Ketetapan Majelis MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kota/Kabupaten sebagaimana yang termuat dalam pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 junto UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sekiranya ada pasal-pasal atau aturan turunan dipandang mengandung unsur-unsur diskriminasi, maka aturan dan pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi (baca: UUD 1945) dan seharusnya tertolak dan ditolak. Hal demikian sudah mafhum dalam kajian teori konstitusi di antaranya terdapat sebuah teori yang menjadi prinsip penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, yakni prinsip “lex superiori derogat legi inferiori”. Teori dan prinsip ini secara sederhana mengandaikan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Teori dan prinsip ini berlaku pada dua ketentuan peraturan perundang-undangan yang hirarkinya tidak sederajat dan dipandang bertentangan.

Selain itu, jenis regulasi yang bersifat umum dimaksud juga bisa dilihat dari tidak adanya pembatasan dan larangan secara khusus bagi makhluk yang bernama perempuan untuk akses berpartisipasi dan berkontribusi aktif dalam memajukan Indonesia melalui jalur politik. Ya, hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada regulasi kita yang secara khusus membatasi hak politik perempuan. Bahkan secara umum sekalipun tidak ada regulasi yang diskriminatif terhadap hak politik perempuan. Sehingga, lagi-lagi, dalam perspektif keindonesiaan kita tidak boleh ada upaya untuk membatasi dan melarang perempuan untuk berpartisipasi dan berkontribusi aktif dalam politik. Karena, “sabda” konstitusi kita sudah mengatakan laki-laki dan perempuan sama memiliki hak politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun