Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Panggung Belati

22 Mei 2025   19:51 Diperbarui: 22 Mei 2025   19:51 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panggung Belati. Ilustrasi pertengkaran di media sosial. Gambar oleh CDD20 | Pixabay 

Tersebutlah sebuah negeri
Media sosial menjadi panggung belati
Saling tikam
Narasi-narasi bebal
Mual
Kadang di luar akal
Demi entah
Atau kemuakan yang membuat muntah
Pembenci dan pemuja
Yang takada beda
Sama-sama tuli
Keduanya pun buta
Tak peduli siapa yang benar
Yang penting suara lebih nyaring
terdengar
Tergantung siapa berperan tuan
Siapa pula yang menjadi hamba

Berani hanya untuk mempertahankan yang salah 

Lahir pula para penjilat
Seolah-olah negeri ini dibangun
dengan keringat orang tuanya
"Siapa yang menyalahkan tuan saya,
silakan tinggalkan negeri ini
!"

Baca juga: Panggung

Kerakusan yang sangat telanjang

Negeri ini dikerat-kerat
Untuk kawan dekat dan sanak kerabat
Seperti menikmati hidangan di atas meja

Sementara di luar
Keringat tumpah
Dari pagi hingga petang
Demi jantung tetap berdetak 

***

Baca juga: Tak Akan Belati

Lebakwana, Mei 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun