Ada matahari menyalak di sanubariKetika konstitusiku terobrak -abrik kepentinganAroma sengkuni mengusik peraduan malamBagaimana aku bisa mendam
Dulu kukira Jakarta adalah hujan cahaya warna-warni hingga aku dapat mandi di bawahnya
Udara panas beringas menguap, Temperatur mematri kulit muka, Suara berpolusi mengumbar perang
Lelaki dekil setengah bayaBerjuang di bawah sengatan hariKeranjang rongsokan mengantung lesuTongkat pengait berkait di lengan hitam
Lorong-lorong sempit menguap kelaparan. Udara pengap mendendangkan kemiskinan
Jempol mengapit telunjuk dan jari tengah. Ujung pena menguap peluh menetes kisah
Musim kemarau, puisi kritik sosial
Puisi tentang ambisi mengejar pencapaian, tak pedulikan diperoleh dengan jalan curang atau menjadi pecundang
Borobudur sayang, kecongkakan nafsu 'tlah menghuni ketinggian stupamu
telah kuhabiskan waktuhanya untuk menduga-duga
Gawai tak henti berbunyi kehidupan pribadi tertelanjangi semua jadi konsumsi publik
Apa lagi yang kau cari? Belum puaskah engkau? Merudapaksa rumahku dengan segerombolan nafsu bejatmu?
Puisi kritik sosial, menceritakan tentang sosok yang sering mengumbar janji tanpa ditepati.
Janji-janji politik seringkali hanya alat untuk memobilisasi dukungan, setelah itu, lupa.
Andai aku PNS mungkin aku tidak terkena kebijakan.
Di republik kami yang katanya demokrasi keadilan hanya ada di undang-undang
Tak peduli Tompel sedang tak berbaju tetap diseret ke dalam tahanan