Aku menulis puisi saat dini hari. Embun malam membuat ingatanku basah, tentang kisah cinta lima belas bulan. Sebagian menggenang, separuhnya lagi hanyut ditelan kesibukan
Mungkin kau menyebut ini cerita patah hati, tapi aku menyebutnya tentang harapan yang enggan pulang
Kemudian aku menulis sunyi, bukan untuk diriku juga tidak ditujukan untuk sesiapa. Aku menulis saja. Walau malam ini kota kehilangan bunyi jangkrik. Sawah-sawah, ladang-ladang, telah ditanam cerobong pabrik
Di warung kaki lima orang-orang bertengkar cara menyelenggarakan sebuah kota, tapi saling diam saat akan membayar lima gelas kopi dan sebungkus rokok
Aku masih menulis. Ada sembilan puisi, tapi tak ada yang selesai
Kopi sudah dingin. Kurenungkan lagi sejauh mana mimpi beranjak, sebanyak apa pula segala ingin bergerak. Puisi, cerita hidup, selalu terus berjalan, kadang terbentur karang, sesekali terhempas badai
dan tak pernah usai
***
Cilegon, Juni 2020