Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Nyanyian Kaum Pinggiran

17 Januari 2020   22:54 Diperbarui: 17 Januari 2020   22:57 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber:Pixabay.com. 

Sudah lebih setahun aku bersama istriku tinggal di kampung itu, sebuah perkampungan -  orang menyebutnya  - kumuh. Tinggal di bedeng kecil, hanya sebuah ruangan, cukup untuk kami berdua. Kami pasangan muda, dan belum dikaruniai anak. 

Kami tinggal selingkupan itu ada sekitar lima belas bedeng dengan ukuran yang sama. Mandi dan cuci-cuci  di luar, dipakai secara bersama-sama. Jadi setiap pagi dan sore begitu ramai. Walau sudah disediakan lima kamar mandi, tetap saja antre; terutama pagi hari, karena berbarengan dengan bapak-bapak yang akan beraktifitas sehari-hari, dan anak-anak yang akan berangkat sekolah. 

Masak-masak di luar, persis di depan bedeng masing-masing. Jadi apa yang kami masak sehari-hari, tetangga kiri-kanan tahu. Agar risih, awalnya. Tapi lama kelamaan menjadi terbiasa. Untunglah lingkup bedeng kami dikelilingi batas tembok, hingga hanya sebatas lingkup bedeng itu saja yang tahu. 

Profesi kami bermacam-macam. Ada yang supir angkot, tukang ojek, tukang parkir, petugas Satpam, buruh cuci, dan banyak lagi lainnya; khas pekerjaan masyarakat  kalangan bawah. Aku sendiri berdagang kecil-kecilan di pasar tradisional. 

Ciri khas dari kampung ini adalah suka memutar lagu-lagu dangdut. Mereka seperti berlomba, siapa memutar lagu paling keras. Bagi mereka lagu-lagu dangdut seperti saluran pelepasan setelah seharian lelah dihimpit rutinitas  kerja; seperti terlupa semua. Lirik-lirik lagu dangdut: Dari cerita mabuk sampai memuji Tuhan, dari patah hati hingga jatuh cinta, tak ketinggalan cerita selingkuh dan kisah termiskin di dunia, pun lirik-lirik yang vulgar; semuanya bisa untuk joget. 

Walau sudah cukup lama tinggal di situ, kadang kami lupa bahkan ada beberapa kami tidak tahu nama-nama para penghuninya. Biasanya kami memanggil, 'mas, kakak, abang, atau pak' untuk lelaki; dan 'mbak, teteh, eceu, atau bu' untuk perempuan. 

Sejauh ini tak ada keributan yang berarti. Kami memang menjaga untuk tak saling mengganggu. Kalaupun toh ada keributan, biasanya perkelahian antaranak, dan itu dapat diselesaikan dengan mudah. 

Tadinya istriku tak betah tinggal di situ. Bukan karena ukuran bedeng yang terlalu kecil, atau lingkungan yang kumuh, bau pesing dari got menguar, tapi kebiasaan ibu-ibu yang suka ngrumpi.  Komariah, atau Bu Kokom, salah satu Ibu-ibu yang sering ngrumpi. 

Apa pun hal-hal baru maupun yang terasa aneh, Bu Kokom selalu yang pertama menjadi sumber cerita. Perkembangan dari para artis Indonesia juga dia tahu. Artis mana pacarnya siapa, dan selingkuhannya dia tahu. Untunglah Bu Kokom tidak tinggal di lingkupan bedeng kami. 

Sampai suatu ketika, lingkungan kami mendadak berubah dengan kedatangan penghuni baru. Seorang perempuan muda, cantik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun