"Aku tidak mengerti puisi," kata Juna kepada Leonidas, sahabatnya sejak sekolah dasar.
"Ya. Siapa yang mengerti?" jawab Leonidas sambil terkekeh.
Mereka berdua duduk di kursi taman di halaman belakang rumah Juna, menyaksikan api barbekyu menjadi cukup panas untuk mereka menaruh daging steak di atas panggangan. Sementara itu, mereka duduk, mengobrol, dan minum bir impor merk Jerman.
"Tidak, maksudku, puisiku sendiri," kata Juna, melambaikan botol birnya ke udara.
"Kau menulis puisi?" tanya Leonidas, mengernyitkan jidat.
"Dulu aku tidak pernah melakukannya, tetapi sekarang aku menulis puisi setiap hari."
"Kau seorang pujangga? Aku sama sekali tak mengira. Lihat, aku juga bisa berpuisi!" Leonidas tertawa sementara Juna menggelengkan kepalanya. Ia sudah terbiasa dengan humor kekanak-kanakan temannya.
Leonidas mungkin akan melontarkan lelucon di pemakamannya sendiri. Juna bertanya-tanya apakah itu semacam mekanisme pertahanan diri.
"Entah kenapa aku berteman denganmu," kata Juna.
"Kecerdasan dan pesonaku yang luar biasa!" Leonidas tertawa lebih keras. Dia pendek dan berotot, memiliki tawa yang membahana.