Sebelumnya....
Kereta Trenitalia Roma -- Florence melaju dengan kecepatan tetap menembus lanskap Italia yang datar sementara Anggun duduk bersandar di jendela kelas utama, dahinya sedikit menempel di kaca yang dingin. Cahaya senja memancarkan cahaya lembut di atas ladang-ladang dan desa-desa kecil yang berlalu bagai kenangan yang tak terpahami. Di tangannya, dia memegang botol kaca kecil yang tersegel rapi---minyak lavender dari penyulingan mereka sendiri, disegel dengan stempel lilin sederhana. Aromanya seperti masa lalu dan masa depan.
Kontras antara Kintamani dan Florence semakin kuat setiap kilometernya. Padahal belum 24 jam yang lalu, dia menghirup udara asin pantai Bali. Kini kompartemennya beraroma kulit, parfum mahal, dan sedikit sentuhan teknologi. Dia hampir tak percaya betapa cepatnya seseorang bisa beralih di antara dua dunia---seolah-olah melewati pintu yang mengarah ke dua kehidupan yang sama sekali berbeda. Bunyi bip ponselnya menyadarkannya dari lamunannya. Pesan dari Paula, rekannya di lab.
"Jangan lupa: malam ini mulai pukul 19.00, di ruang presentasi di Charlottenstrasse. Bawalah benda baru itu ;)."
Anggun menarik napas dalam-dalam.
Benda baru itu.
Yang dimaksud Paula adalah aroma yang dia ciptakan selama berjam-jam bekerja, dari sari lavender dan aroma jeruk yang paling halus. Di Kintamani, aromanya berbeda---lebih alami, natural, hampir liar. Di sini, di Florence, mereka akan memberinya nama, membungkusnya untuk pemasaran, memolesnya hingga tak tersisa orisinalitasnya. Dia bertanya-tanya apakah dia siap menerima itu lagi.
Sesampainya di stasiun Firenze SMN, kebisingan menyambutnya bagai ombak. Orang-orang bergegas melewatinya, suara-suara saling tumpang tindih. Seorang musisi jalanan memainkan gitar listrik dengan volume yang mantap.
Anggun hanya berdiri sejenak, tas travelnya di tangan, membiarkan hiruk pikuk berlalu begitu saja. Segalanya tampak norak, bergegas, tak berarti. Kilauan cahaya, suara, dan gerakan sekilas. Kontrasnya dengan Kintamani sungguh tak terkira. Di sana, dia mendengar angin berembus di antara bukit. Di sini, dia mendengar klakson mobil dan percakapan ramai dalam berbagai bahasa.
Anggun naik taksi ke Via de Tornabuoni. Dia bersandar di kursi belakang, tetapi sopirnya langsung berbicara kepadanya.