Kemudian, saat dia berbaring di kamar hotel, matanya menatap langit-langit, semuanya terasa salah. Tempat tidurnya empuk, terlalu lunak. Bantal-bantalnya beraroma kesegaran sintetis. Kulkas berdengung pelan dari minibar.
Dia bangkit dan membuka jendela. Udara terasa hangat, pengap, dipenuhi asap knalpot. Tak ada angin. Tak ada laut. Tak ada langit berbintang. Hanya beton, kaca, dan gemuruh pelan dari bawah.
Malam itu, dia memimpikan kebun lavender. Bukan oleh deretan iklan yang rapi dan simetris---melainkan oleh lavender liar yang tak terjinakkan menyebar ke segala arah, dikerumuni lebah, dikeringkan oleh matahari. Dan di tengah semua itu, dia berdiri sendiri, bertelanjang kaki, rambutnya tergerai, botol kaca di tangannya. Dia tersenyum---namun senyum itu tak pantas berada di Florence.
Keesokan paginya, sembari mengemasi tasnya, dia ragu-ragu. Kartu namanya masih tersimpan di dalam kotak kulit kecil---"Anggun Caldarone---Perfume Creation & Fragrance Expertise."
Dia memandanginya lama, lalu membuangnya ke tempat sampah. Sebuah goresan kecil, nyaris tak terlihat---namun baginya, sebuah simbol.
Saat meninggalkan hotel, langkahnya semakin cepat, semakin mantap. Dia sudah cukup melihat, cukup mendengar. Florence mungkin dulu adalah rumahnya. Namun kini dia tak lagi pantas berada di sini.
Di stasiun kereta, dia membeli kopi sederhana---hitam, tanpa apa pun---dan duduk di salah satu bangku di dekat peron. Angin terasa seperti hembusan napas di sini, namun dia memejamkan mata dan membayangkannya datang dari laut, membawa aroma garam dan lavender. Ketika pesawatnya mendarat di Jakarta beberapa hari lagi, dia tahu dia tak akan kembali. Tidak ke kehidupan ini, tidak ke permukaan ini. Dia sedang pulang.
***
Anggun bangun pagi sekali, tidak seperti biasanya, Senin pagi itu. Cahaya di atas Florence masih redup, kamar hotel bermandikan warna-warna redup, sementara di luar, mobil-mobil pertama meluncur di jalanan yang basah kuyup. Dia hampir tidak tidur. Keputusan yang telah menumpuk di dalam dirinya selama beberapa hari terakhir menjadi jelas dalam semalam. Hari ini dia akan mengakhirinya. Bukan karena marah. Bukan pula karena sedih. Melainkan karena dia tahu hatinya tak lagi di sini.
Dia mandi berendam lama, membiarkan air hangat mengalir di lehernya sambil mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. Tak ada kalimat yang sempurna, tak ada argumen yang terpoles. Tapi dia tak membutuhkannya. Yang dia miliki adalah keyakinan. Dia mengeringkan rambutnya dengan pengering rambut, mengenakan celana panjang hitam sederhana dan kemeja putih---profesional, namun bersahaja. Tanpa parfum. Hanya sedikit minyak lavender di pergelangan tangannya---miliknya sendiri. Sangat ringan. Hampir tak terlihat. Namun, sebuah janji untuk dirinya sendiri.
Â