Di suatu tempat, jauh di dalam dadanya, sesuatu yang bergejolak. Bukan rasa sakit, bukan rasa takut. Lebih seperti getaran, suara samar yang belum membentuk melodi.
Tapi dia mendengarnya.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
***
Kunci itu terasa dingin di tangannya, hampir terasa berat, seolah-olah sudah mencoba membuatnya merasakan beban sejarah yang tersembunyi di balik pintu. Bentuk besi itu tak beraturan, seolah ditempa dengan tangan, dengan sidik jari yang tak terhitung jumlahnya, bertahun-tahun.
Anggun berdiri di ambang pintu, jari-jarinya mencengkeram logam kasar itu, lalu menarik napas dalam-dalam. Udara beraroma kayu lembap, lumut, dan angin asin yang merayap melalui celah-celah jendela tua. Dan di suatu tempat di bawahnya - hampir tak terasa - tercium aroma lavender.
Dia memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Bunyi klik lembut itu bukanlah penolakan, melainkan sebuah penerimaan, bisikan yang berkata, "Selamat datang kembali."
Pintu terbuka perlahan, berat dan berderit, seolah meregang setelah tidur panjang. Di baliknya terbentang kegelapan. Bukan kegelapan yang mengancam, melainkan kegelapan sunyi yang menanti dari sebuah rumah yang diabaikan, tetapi belum terlupakan.
Anggun masuk, hati-hati meraba-raba. Setiap langkah di lantai kayu yang berderit samar-samar mengingatkannya pada apa yang pernah ada di sini. Lorong itu sempit dengan panel kayu gelap. Sebuah bohlam berdebu tergantung di langit-langit. Sakelarnya pasti terletak di suatu tempat di dekat pintu masuk. Setelah meraba-raba sebentar, dia menemukannya - dan dengan bunyi klik perlahan, sebuah bohlam menyala, memancarkan cahaya redup dan hangat ke seluruh lorong.
Foto-foto berbingkai tergantung di dinding. Sebagian besar menguning, hampir pudar, tetapi beberapa menampilkan wajah-wajah yang tanpa sadar membuat Anggun terkesiap. Seorang wanita muda dengan sanggul ketat, yang tampak seperti versi ibunya yang lebih tua. Seorang anak kecil bergaun pelaut, tertawa, berdiri di atas perahu kayu tua - mungkin dirinya sendiri? Dan Malini, jauh lebih muda daripada yang pernah Anggun kenal, dengan rambut acak-acakan dan senyum yang tampak bertolak belakang dengan bibinya yang dingin dan pendiam yang diingatnya.
Dia berjalan perlahan menyusuri lorong dan membuka pintu ruang tamu. Bau apek memenuhi hidungnya. Karpet tua, udara pengap, sedikit abu tungku perapian. Ruangan itu nyaris tak tersentuh. Di atas meja tergeletak setumpuk buku, sebuah tempat lilin kecil dengan lilin yang setengah meleleh, sebuah buku bergambar terbuka tentang herba liar. Kursi-kursi berlengan ditutupi selimut rajutan, salah satunya compang-camping di satu tempat, seolah-olah seseorang dengan gugup memutarnya di antara jari-jarinya, berulang kali.