Genre Fiksi Realisme Gaib (Magic Realism) adalah genre yang menyajikan pandangan dunia yang realistis sambil menggabungkan unsur-unsur gaib, yang sering kali mengaburkan batas antara fantasi dan kenyataan. Realisme gaib adalah istilah yang paling umum digunakan di antara ketiga istilah tersebut dan khususnya mengacu pada sastra. Tujuannya, bukan memaparkan fantasi gaib, tetapi untuk mengekspresikan emosi.
***
Garibaldi bilang dia bisa menangkap peluru, dan tidak ada satu pun di antara kami yang percaya padanya.
Kalau saja kamu kenal Garibaldi. Dia suka mengatakan hal-hal buruk seperti itu. Malam pertama aku bertemu dengannya, dia bersumpah dia bisa melakukan lompat salto ke belakang dari awal berdiri tegak. Kami taruhan lima ratus ribu dan aku menaruh uangnya. Dia sudah setengah jalan sebelum menabrak tembok beton.
Kami memanggil ambulans. Mereka membawanya pergi.
Aku bertemu dengannya seminggu kemudian, dan Garibaldi menunjukkan jahitannya, baris rapi di atas alisnya, lurus seperti jahitan kemeja dengan mesin Singer.
"Kelihatannya buruk," kataku.
Garibaldi mengangguk. "Tapi kawan, itu bisa saja lebih buruk," katanya. "Kepalaku penuh dengan kelelawar, tahu? Kalau mereka sampai keluar, itu pasti sangat buruk."
Aku menjawab, "Lebih baik dikeluarkan saja, daripada membiarkannya bersarang di dalam sana, kan?"
Garibaldi berkedip. Lalu dia menyeringai. "Aku menyukaimu," katanya.
Makanya aku menjadi teman Garibaldi, dan mengetahui bahwa kamu tidak bisa menyingkirkannya setelahnya.
***
Cerita tentang kemampuannya menangkap peluru baru belakangan. Dan kali ini, dia bersikeras. Bersumpah ke atas langit dan ke bawah tanah bahwa dia bisa melakukannya.
Itu bukan ide yang bagus. Garibaldi sudah minum beberapa sloki wiski. Dan sialnya, kami semua sangat mabuk saat itu. Ketika itu Angie mengadakan pesta, dan kami semua minum-minum. Aku yakin banyak orang yang akan menembaknya, kalau Garibaldi membawa pinstol.
Bukan, bukan 'kalau'.
Aku tahu dia akan membawanya. Garibaldi orang yang memegang teguh kata-katanya. Dia melemparkan dirinya ke dalam berbagai masalah dengan penuh percaya diri.
"Beneran," katanya, "Aku benar-benar bisa menangkap peluru. Seseorang tolong ambilkan Lugerku."
Ketika tidak ada yang pergi untuk mengambil pistolnya dari dalam laci dashboard mobilnya, Garibaldi menyebut kami semua bajingan, lalu dia keluar untuk mengambilnya sendiri.
Danielle bilang dia akan meleset jika menembak Garibaldi. Dia mengatakannya dengan pelan, di telingaku, cukup pelan hingga hanya aku yang mendengarnya. Aku senang akan hal itu, sungguh.
Ada banyak orang di sini yang bosan dengan omong kosong Garibaldi. Banyak orang yang berpikir, apa-apaan ini, biarkan bajingan sialan itu kena tembak pistolnya, tahu?
Orang-orang yang akan menerima perkataan Danielle dan menggunakannya untuk menyemangatinya, meletakkan Luger di tangannya dan memaksanya mengambil lima belas langkah sebelum menembak.
Garibaldi-lah yang memperkenalkan Danielle padaku. Tiga tahun lalu, di pesta lain.
Kami berhutang padanya untuk itu. ini adalah tahun ketiga kebahagiaan kami berdua. Atau, kalau kamu mau tahu yang sesungguhnya, ini sesuatu yang mendekati kebahagiaan.
Garibaldi bilang itu bukan idenya. Kelelawar menyuruhnya melakukannya. Aku tidak peduli.
Kami berutang pada Garibaldi, atau kami berutang pada kelelawar sialan itu. Keduanya pergi ke mana-mana dengan kulit yang sama.
Aku tidak ingin menembaknya, dan aku juga tidak ingin Danielle melakukannya. Karena kami berutang pada Garibaldi, aku ingin dia hidup. Kamu tidak membalas kebaikan seorang teman dengan menembaknya.
Kalau kami memang berutang pada kelelawar itu, aku ingin kelelawar itu masuk ke dalam tengkorak Garibaldi. Aku yakin sekali tidak ingin kelelawar-kelelawar itu ada di sini.
Menjadi teman Garibaldi tidaklah mudah. Aku tahu. Aku sudah melakukannya selama enam tahun, dan selalu ada masalah yang terjadi. Dia biasa melakukan trik lempar pisau. Pertama, dia ingin melemparkannya padamu. Sudah kubilang dia bisa melakukannya dengan bersih, punya tangan yang sangat mantap. Tidak ada seorang pun yang cukup bodoh untuk mengatakan ya, sampai teman kami Dolores berkata ya, berdiri di dinding dan berpose.
"Ayo," katanya. "Selesaikan saja. Uangnya ada sesuai dengan janjimu, kan?"
Dan Garibaldi, dia tak pernah ragu. Melemparkan tiga pisau yang menancap di plester dinding, semuanya rapat dan dekat di lengan Dolores. Kami mulai sedikit mempercayai omong kosongnya. Maksudku, dia mabuk, tapi dia berhasil melakukannya.
Kemudian dia menusukkan pisau keempat ke daging paha Dolores, berjalan terhuyung-huyung ke jendela dan muntah ke taman.
Dolores terjatuh sambil berteriak. Dia tidak sendirian, karena banyak yang ikut adu jerit. Sekali lagi, kami memanggil ambulans.
Garibaldi suka bercerita kepada orang-orang bahwa dia dibesarkan di sirkus. Dia mengetahui hal ini dari ibunya, Tianna, seorang pelempar pisau dan pemain akrobat. Dia tidak pernah benar-benar mempunyai bakat, tidak cukup untuk menjadi profesional dalam hal itu. Dia melucu sebagai stand up komedian dalam waktu senggang, sebagai pekerjaan di waktu liburan. Berlatih membuat orang tertawa.
Dan menurutku  Garibaldi bisa berperilaku buruk seperti bajingan. Dia melakukannya untuk bersenang-senang, sambil berbelanja di supermarket. Satu menit dia berjalan di lorong mie instan, menit berikutnya dia terkapar pingsan tak sadarkan diri di lantai.
Orang-orang bergegas, khawatir tentang kesehatannya. Manajer department store berlarian, khawatir dia akan mencoba menuntut mereka.
Garibaldi mengatakan kadang-kadang rasanya sakit, karena kepalanya penuh dengan kelelawar. Dia bilang dia melakukan hal buruk karena dia butuh pengalih perhatian. Katanya itu satu-satunya jalan keluar yang dia punya, selain sebotol wiski.
Danielle sering berkata bahwa kami jatuh cinta pada baju pertama. Karena dia mengenakan kaus Lou Reed - Transformer pada malam pertama kami bertemu, dan aku mengenakan The Smiths - Meat is Murder yang kucuri dari lemari abangku. Kami sama-sama penggemar musik rock tahun delapan puluhan, setelah Garibaldi memperkenalkan kami. Kami ngobrol, kami main mata, kami berteman satu sama lain.
Dibutuhkan waktu tiga minggu bagiku untuk mengajak Danielle kencan, dan bahkan saat itu, Garibaldi yang membujukku agar melakukannya. Dia mendengarkan saya berbicara dan dia membentak, suatu hari.
"Lemparkan pisau ini ke arahku, bajingan," katanya. "Kalau aku bisa menangkapnya, kamu harus mengajak dia kencan. Kalau tidak, kamu berhenti bercerita tentang dia, jelas?"
Garibaldi dan aku saat itu teman satu kamar kos. Dia mendesakku untuk terus bertaruh sampai akhirnya aku menyerah dan dia yang menang.
***
Saat Garibaldi menyukai seorang gadis, dia kembali pada apa yang dia ketahui. Kebanyakan karena minum-minum dan banyak acara hiburan. Kali ini, untuk mengesankan seorang gadis, dia menancapkan paku berukuran enam inci ke lubang hidungnya. Memang berhasil oke, tapi mimisan selama dua minggu setelahnya.
Kali ini, untuk mengesankan seorang gadis, dia mengancam akan mengeluarkan kelelawar hidup dari telinganya, sambil memuntahkan semua omongan sialan itu. "Aku bisa mendengarnya sepanjang waktu," katanya. "Mencicit dan mengepakkan sayapnya di tengkorakku."
Dari keduanya, paku adalah taktik yang paling berhasil.
Dan sungguh, meski begitu, hal itu tidak memberikan hasil yang lebih baik.
Suatu malam, seminggu yang lalu, aku menginap di rumah Garibaldi. Dia mabuk, aku mabuk. Sepertinya itu ide yang bagus.
Aku menghempaskan diri di sofanya, terbangun sekitar pukul tiga pagi. Mendengar dia berbicara saat aku berjalan ke kamar mandi, bertanya-tanya apakah aku akan muntah. Aku mendengarnya melalui pintu kamar tidur.
Tidak ada kata-kata apa pun dalam perkataannya, tetapi ada ritme, seperti puisi, bergelombang dan ganjil. Itu memberiku perasaan buruk. Aku mengetuk pintu Garibaldi. Menerobos masuk, ketika dia tidak menjawab.
Saat itu bulan Februari. Udara panas sekali.
Aku tahu kalau Garibaldi tidur telanjang, setelah aku duduk di samping tempat tidurnya.
Gumaman itu berhenti ketika aku duduk di sana. Mata Garibaldi tetap terpejam dan dia berbaring di sana, diam. Selembar handuk melilit kakinya, menutupi barang rongsokannya. Saat dia berbicara, suaranya terdengar sangat-sangat jauh.
Garibaldi berkata, "Robert?"
Lalu, "Robert, kamu tidak seharusnya berada di sini."
"Bro," kataku. "Aku cuma ingin---"
Garibaldi membuka matanya dan menatapku. Itu bukan mata yang kukenal. Warnanya gelap tak bertepi, hitam seperti marmer yang dipoles mengilap. Aku bisa melihat ada sesuatu di belakangnya. Kelelawar, mungkin, beterbangan di sana.
Atau, mungmin seperti aku, aku rasa bukan kelelawar sama sekali.
Tidak ada yang seperti kelelawar, tidak juga.
"Kamu seharusnya tidak berada di sini," katanya, sangat pelan, dan dia tidak terdengar seperti Garibaldi lagi.
Aku keluar dari sana, naik taksi pulang. Tidak memberi tahu Danielle apa pun tentang hal itu.
***
Kembali dari parkiran ke pesta, Garibaldi berkeliling mencari sukarelawan. Dia melewatiku dan Danielle dua kali, menatap mataku dua kali. Berpikir lama dan kembali padaku, mendorong Luger ke dadaku.
"Robert," kata Garibaldi. "Kamu terpilih sebagai penembak."
Danielle mencicit di sampingku, seolah dia menyadari bahwa Garibaldi serius.
"Garibaldi, bro, sudahlah," kataku. "Kami percaya padamu. Kamu tidak perlu melakukan ini."
Dia membungkuk, dan memelukku. "Ini akan baik-baik saja," bisiknya. "Aku bersumpah, semuanya akan baik-baik saja."
"Garibaldi," kataku, "aku benar-benar tidak mau."
"Ayolah," katanya. "Kamu berhutang padaku."
"Hadirin sekalian," kata Garibaldi, setiap gerak otot tubuh dan bunyi yang keluar dari mulutnya menandakan dia seorang aktor watak.
"Tolong, demi keselamatan kalian sendiri, jangan lakukan ini di rumah. Dan tolong, demi pengacara yang kana membela kalian di opengadilan, coba lakukan saja saat kamu sedang mabuk."
Orang-orang tertawa. Mereka terbiasa menertawakan Garibaldi. Dia benar-benar komedian yang lucu.
Dia berbalik ke arahku, merentangkan tangannya lebar-lebar. Mundur selangkah, semuanya tersenyum.
Selangkah lagi. Lagi. Total lima belas langkah.
"Aku menghitung mundur dari sepuluh," katanya. "Kalau aku sudah selesai, tembak saja."
Aku menggelengkan kepalaku, tidak berkata apa-apa.
"Bidik ke sini," katanya, meletakkan jari telunjuk di pelipisnya. "Jangan khawatir. Aku akan menangkap pelurunya. Tidak akan menyakitiku sama sekali."
Dia menurunkan jarinya dan menarik napas dalam-dalam. Memantapkan dirinya dan mengangguk.
"Siap?"
Tidak. Aku sama sekali tidak siap.
"Sepuluh." Dia tersenyum. Matanya menjadi hitam.
"Sembilan," katanya. "Delapan...tujuh...enam..."
Dan aku? Aku mengacungkan pistol.
Cikarang, 28 Juni 2024
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI