Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Percakapan Antar Seniman

24 September 2025   14:18 Diperbarui: 24 September 2025   14:18 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Si pria merenungkan warna-warna yang berpadu di atas kanvas. Matanya akhirnya tertuju pada setitik warna biru di kanan atas kanvas.

"Sebuah galaksi?"

"Bukan!"

"Jadi apa? Aku tidak tahu gambar apa kalau begitu."

"Katanya, melukis adalah tentang ekspresi. Kamu benar-benar berpikir aku ingin mengekspresikan galaksi? Kalau ada sesuatu yang tidak masuk akal, itu dia."

Si pria duduk di sofa di belakangnya dan menatap bagian belakang kepala si wanita. Si pria suka melihatnya melukis. Sungguh, itulah satu-satunya hal yang masuk akal baginya.

Dia teringat kembali saat mereka pertama kali bertemu. Karyanya yang pertama kali membuat dia jatuh cinta. Pelukisnya datang kemudian.

Dia tidak menganggap si wanita cantik. Dia bukanlah sesuatu yang perlu dikagumi. Matanya bagai bulan sabit kecil yang tenggelam ke pipi montok kemerahan. Si wanita mengingatkannya pada bibinya.

Si pria mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya. Tapi, lukisannya menarik perhatiannya. Pertama kali dia melihatnya, dia terkejut dengan kesadaran menyakitkan bahwa itu adalah hal indah pertama yang dia lihat selama bertahun-tahun.

Lukisan si wanita hadir ke dalam hidupnya ketika dia mengunjungi ke sebuah galeri kecil yang terletak di antara gedung rusunawa dan warung nasi tegal. Itu hanyalah tempat berteduh untuk menghindari rinai hujan. Dia berjalan berkeliling dan tidak butuh waktu lama sebelum dia melihatnya--sebuah kanvas besar berwarna hijau dan cokelat berbintik-bintik. Dia mendapat kesan bahwa warna cokelat yang terpelintir perlahan berubah menjadi wajah. Lukisan itu membuatnya merasa tenang, meski muncul juga sekilas kesedihan.

Saat orang-orang keluar masuk galeri, dia hanya berdiri membeku di depan lukisan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun