Si pria merenungkan warna-warna yang berpadu di atas kanvas. Matanya akhirnya tertuju pada setitik warna biru di kanan atas kanvas.
"Sebuah galaksi?"
"Bukan!"
"Jadi apa? Aku tidak tahu gambar apa kalau begitu."
"Katanya, melukis adalah tentang ekspresi. Kamu benar-benar berpikir aku ingin mengekspresikan galaksi? Kalau ada sesuatu yang tidak masuk akal, itu dia."
Si pria duduk di sofa di belakangnya dan menatap bagian belakang kepala si wanita. Si pria suka melihatnya melukis. Sungguh, itulah satu-satunya hal yang masuk akal baginya.
Dia teringat kembali saat mereka pertama kali bertemu. Karyanya yang pertama kali membuat dia jatuh cinta. Pelukisnya datang kemudian.
Dia tidak menganggap si wanita cantik. Dia bukanlah sesuatu yang perlu dikagumi. Matanya bagai bulan sabit kecil yang tenggelam ke pipi montok kemerahan. Si wanita mengingatkannya pada bibinya.
Si pria mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya. Tapi, lukisannya menarik perhatiannya. Pertama kali dia melihatnya, dia terkejut dengan kesadaran menyakitkan bahwa itu adalah hal indah pertama yang dia lihat selama bertahun-tahun.
Lukisan si wanita hadir ke dalam hidupnya ketika dia mengunjungi ke sebuah galeri kecil yang terletak di antara gedung rusunawa dan warung nasi tegal. Itu hanyalah tempat berteduh untuk menghindari rinai hujan. Dia berjalan berkeliling dan tidak butuh waktu lama sebelum dia melihatnya--sebuah kanvas besar berwarna hijau dan cokelat berbintik-bintik. Dia mendapat kesan bahwa warna cokelat yang terpelintir perlahan berubah menjadi wajah. Lukisan itu membuatnya merasa tenang, meski muncul juga sekilas kesedihan.
Saat orang-orang keluar masuk galeri, dia hanya berdiri membeku di depan lukisan itu.