Meski gelap, tapi aku bisa melihat tempat tidur Nini di bawah sinar bulan yang masuk dari jendela, ditempatkan dengan aman jauh dari dinding di sudut ruangan.
Tepat di tempat yang seharusnya. Kaki tempat tidur bayi berada dalam mangkuk kaca, sama seperti biasanya. Tidak ada yang memindahkannya. Meskipun setiap hari Sabtu Bapak bilang saatnya memindahkan tempat tidur bayi, baik Bapak maupun Emak tidak pernah menyentuhnya. Aku senang tempat tidur Nini tidak dipindahkan.
Karena saat aku terbangun, aku tahu aku tidak sendirian lagi. Jantungku berdebar saat aku mengangkat kepala perlahan dari bantal.
Sesuatu membuat mangkuk seperti terkena noda hitam di kaki tempat tidur bayi yang paling dekat dengan tempat tidurku.
Nini ada di sini.
Aku menarik kembali selimutku dan meletakkan kakiku yang telanjang di lantai ubin yang dingin. Tiga langkah cepat dan ujung kaki dan aku sudah berada dekat mangkuk. Aku berjongkok di depannya.
Nini ada di sini.
Dia membeku menatapku.
Sisiknya sangat hitam hingga terlihat seperti jelaga. Begitu hitamnya sehingga hampir tidak memantulkan cahaya bulan. Berbeda dengan matanya: matanya berkilau, Â cerah saat menatapku.
Mata yang menyinarkan kecerdasan di dalamnya menyala seperti lilin, capitnya berdesir saat dia mengangkatnya dan ekornya melengkung ke arahku.
Nini sudah kembali.