Aku mengerti.
Kalajengking sangat berbahaya. Kalau kamu disengat kalajengking, kamu akan bengkak sehingga menjadi sebesar balon dan hanyut melayang. Tapi di dalam kamarku dan Nini, aku tidak tahu apakah kamu bisa melayang ke langit luas, karena jendelanya tidak terbuka.
Malam hari itu, aku memikirkan hal inidi kamar kami yang kosong, saat matahari terbenam dan berwarna ungu, angin sepoi-sepoi menerobos melalui celah jendela sehinggaa terasa sejuk.
Sejak saat itu aku selalu membiarkan jendela kamarku  terbuka, karena kalau aku disengat kalajengking, aku harus lari ke jendela sebelum meledak karena terlalu besar sehingga tidak bisa lewat di jendela.
Aku akan naik ke tempat tidurku dan ke ambang jendela lalu menyelinap. Lalu aku akan melayang, seperti Mbah Uti, jauh di atas kota. Di atas langgar, di atas kuburan. Aku akan melambaikan tangan pada Mbah Kakung dan paman-pamanku yang kuburannya kami ziarah di belakang sana, lalu aku menoleh ke arah bulan purnama bersinar kuning keemasan.
***
Adikku Nini selalu siap untuk apa saja.
Emak dan Bapak tidak memahaminya.
Begini. Emak telah berbohong padaku. Selama berminggu-minggu, Emak dan Bapak naik mobil tetangga ke dan dari rumah sakit, bolak-balik, seperti saat Nini lahir dan aku ditinggal bersama Mbah Putri. Tapi kali ini, saat mereka kembali terakhir kali, Nini tidak ada dalam pelukan mereka. Dan mereka tidak pernah kembali ke rumah sakit lagi.
Sejak hari itu, Emak dan Bapak berkeliaran di sekitar rumah seperti hantu gentayangan. Suatu kali, aku mendengar Bapak menangis tersedu-sedu di kamar mandi, tapi setiap kali Emak mulai mengeluarkan air mata, Bapak berteriak padanya dan menyuruh Emak berhenti menangis.
Ketika aku bertanya mengapa Bapak bersembunyi di kamar mandi, Emak bilang alasannya karena Nini sudah meninggal. Dan Emak juga menyebut kata-kata seperti 'kanker' dan 'tidak ada yang bisa kita lakukan'. Yang kudengar lagi dari Emak hanyalah 'Kamu sendirian sekarang, Suci. Kami sendirian selamanya.'