Adikku dulunya bukan kalajengking, tapi sekarang dia sudah menjadi kalajengking. Aku tidak tahu apakah itu terdengar aneh untukmu, tetapi tidak bagiku, karena tepat setelah adikku lahir, Mbah Uti berubah menjadi burung bangau putih dan terbang jauh. Mbah Uti sangat sedih sewaktu kami menguburkan Mbah Kakung.
Suatu hari di musim hujan, Mbah Uti melangkah keluar dari langgar yang lantai semennya sudah retak dan licin, disinari sinar matahari yang cerah setelah badai, Buku kuning terselip di bawah lengan kanannya. Mungkin matahari tidak cukup menghangatkan tubuh Mbah Uti karena terhalang bayang-bayang pohon angsana, dan dia ingin lebih dekat dengan matahari. Mungkin udara hari itu terasa lebih ringan, cukup ringan untuk membawanya ke surga.
Dia menjatuhkan bukunya, menatap ke langit, dan menumbuhkan sayap - sayap seperti malaikat, seputih rambutnya, seputih giginya yang tinggal dua. Lehernya tumbuh panjang dan anggun, lalu dengan begitu saja, dia melompat terbang ke langit. Dengan mengepakkan sayapnya yang besar, bayangannya melindungi halaman-halaman kitab kuning yang terbuka di tangga langgar, berkibar dengan sedih di bawahnya. Dan Mbah Uti sudah pergi.
Emak suka mengamati langit dari jendela dapur. Bahkan saat dia sedang mencuci piring, dari sorot matanya terlihat seperti berada di tempat lain.
Emak menunggu Mbah Uti kembali.
Aku juga merindukan Mbah Uti dan berharap dia tidak meninggalkanku sendirian, tapi menurutku dia tidak akan kembali.
Mungkin dia terbang ke tempat Mbah kakung berada dan tinggal di sana. Kalau aku jadi bangau putih, aku juga akan tinggal bersama mereka.
Tapi yang ingin aku ceritakan padamu adalah kisah tentang adikku. Namanya Murni, tapi kami memanggilnya Nini. Usianya hampir satu tahun dan giginya kecil, sempurna, dan cerah, seperti bagian dalam cangkang siput atau sayap Mbah Uti. Rambutnya halus lembut seperti bulu anak kucing dan berwarna hitam. Hitam seperti matanya, yang berkilau seperti sisik kalajengking di bawah sinar bulan.
Aku selalu tahu ada sesuatu yang berbeda pada Nini. Mungkin karena Emak dan Bapak memperlakukannya seperti dia terbuat dari kaca, seperti mangkuk kecil yang Emak letakkan di bawah masing-masing kaki tempat tidur bayi untuk mencegah kalajengking masuk ke dalam selimut Nini.
"Suci," kata Emak, "kalau kamu melihat kalajengking di sini, jangan menyentuhnya. Kamu harus lari untuk menjemput Emak, ngerti?"