Dia menyimpan salinannya di sana, masing-masing di mendapat kamar pribadi, dengan jendela tertutup dari sebuah rumah besar yang jelek dengan gerendel di setiap pintu.
Mereka harus dipisahkan, kata Indila kepadaku, meskipun dia tidak menjelaskan alasannya.
Tak seorang pun yang diizinkan memasuki ruangan-ruangan itu, kecuali Indila, tentunya.
Baru setelah aku memohon dan memohon padanya, dia memasang cermin dua arah di setiap dinding–sebuah jendela untuk mengmati–sehingga aku dapat mengetahui apa yang sangat dia takuti.
Sampai hari ini, aku menyesal meminta cermin itu.
Bukan karena aku berharap aku tidak pernah melihat salinannya–bahkan sekarang pun, salinannya masih membuatkuterpesona–tetapi karena sifat dari cermin dua arah dan bahaya yang ditimbulkannya.
Hal ini memungkinkanku untuk menerima begitu saja fakta bahwa aku sedang mengamati sesuatu yang tidak dapat balas melihat.
Indila tidak pernah memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi.
Yang kuketahui adalah, pada mulanya, dia berjumlah tujuh orang, dan suatu hari aku berkendara ke rumahnya di Lembang dan menemukan bahwa kamar tamunya terkunci, lemari pakaiannya sudah dibersihkan dan disegel dengan hati-hati, dan salah satu kamar mandinya rusak ditutup tembok—tiga salinan baru, muncul dari suatu tempat atau sesuatu yang tidak ingin kuketahui.
Indila memberitahuku bahwa keadaan sudah terkendali, dan tidak ada bahaya lagi, meskipun aku sering memergokinya tertidur di depan pintu yang baru dikunci, pistol peninggalan mendiang bapaknya seorang pensiunan polisi terkulai di dadanya. Napasnya dalam dan aneh.
Kapan pun itu terjadi, aku selalu menemukan salinannya sedang mengamati - bukan, bukan mengamati, persisnya, karena mereka tidak dapat melihatnya. Tapi … seperti sedang mengamati.