Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengejar Matahari

3 September 2025   08:08 Diperbarui: 3 September 2025   00:55 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok pri. Ikhwanul Halim

Mengejar Matahari

Gunung itu disebut Raksasa Tidur karena bentuknya. Aku berdiri di puncaknya, di bahu raksasa yang bersujud di tampuk tebing, mengagumi pemandangan tudung rindang rimba di kejauhan, jurang terjal, dan awan gergasi kelabu yang berlayar perlahan, ketika sesuatu---atau seseorang---menepuk pundakku.

Aku berbalik. Tadinya aku pikir aku sendirian di jalur pendakian ini.

Seorang laki-laki berkulit pucat keriput, dengan rambut abu-abu panjang dan janggut menyerupai sarang burung manyar jatuh, menyeringai ke arahku. Giginya bengkok-bengkok dan kotor bernoda.

"Hei kawan, apa kabarmu?"

Dia membungkuk, memelukku, dan menepuk punggungku. Baunya seperti andam.

Lenganku menegang di sisi tubuhku.

"Aku baik-baik saja."

Dengan lembut aku melepaskan diriku darinya. "Bagaimana denganmu?"

Dia mengangkat alisnya yang tebal berbulu. "Benar-benar hilang. Saya mencari matahari, tetapi tidak dapat menemukannya."

Aku mengamati dengan teliti. Dia menggaruk salah satu dari sekian banyak lubang di baju kausnya yang compang-camping. Sepertinya dia habis menerobos lahan semak berduri dalam keadaan mabuk.

"Dua jam lagi akan turun hujan," kataku. "Dan akan terus hujan sepanjang malam. Untuk mendapatkan sinar matahari waktunya besok pagi."

Agustus dan perubahan suasana hati. Hari-hari diakhiri oleh puting beliung musim kemarau yang dahsyat dan sinar matahari setelahnya.

"Tidak tidak tidak." Dia mendecakkan lidahnya dan mengibaskan jarinya. "Saya tahu, Anda tahu di mana matahari berada."

Paranoia meresap ke dalam benakku. Apa saja bisa terjadi di hutan yang gelap tanpa ada saksi mata. Tapi aku mengabaikan imajinasiku. Orang tua ini bukanlah ancaman.

"Aku tidak paham apa yang kamu bicarakan, Pak Tua," kataku dengan suara tegas.

"Anda akan membawa saya ke matahari." Dia memperhatikanku dengan mata terbelalak kagum.

"Pak Tua, itu tidak benar. Aku akan pulang sekarang, jadi---"

Dia meraih tanganku dan berlari menuju hutan tak bertanda. Tanjakannya sangat curam, menyeretku ke bawah dengan kecepatan gila-gilaan. Aku berusaha menjauhkan diri darinya, tapi cengkeramannya seperti tali bebat. Kami menerobos semak-semak dan tergelincir di bebatuan yang terlepas. Cabang-cabang belukar mencambuk tubuh sepanjang perjalanan turun.

"Apa-apaan ini?" aku berteriak.

Dia tertawa. "Tunjukkan pada saya mataharinya!"

"Apa?"

"Katakan pada saya ketika Anda melihat matahari!"

"Mendung! Kita akan mati! Biarkan aku pergi!"

Tapi dia mencengkeram tanganku dengan cengkeraman besi, dalam laju ke bawah menuju kehancuran bersama.

Aku tidak punya pilihan lain.

"Aku melihat matahari!"

"Ya?" Dia langsung berhenti, tak terpangaruh oleh momentum gaya fisika. "Di mana?"

Aku menabrak punggungnya, lalu menendangnya dengan sekuat tenaga. Dia tergeletak telungkup di bebatuan dengan bunyi retak. Tulang atau dahan pohon. Aku tidak tahu. Aku tidak peduli.

Jejaknya jauh tapi tidak terlalu jauh. Aku naik kembali secepat yang aku bisa.

Dia memanggilku. "Terima kasih telah mengajakku berjemur, tapi kamu tidak boleh pergi sebelum pertunjukan dimulai."

Aku melanjutkan perjalanan tanpa menoleh ke belakang.

"Matahari terbit, matahari terbit," dia bernyanyi. "Kamu akan menyesal kalau melewatkannya."

Masih mengabaikannya.

"Lihatlah!" serunya. "Lihat. Cantiknya!" Suaranya serak pecah, penuh perasaan, dan itu memaksaku untuk berbalik.

Awan terbelah bagai digunting dengan rapi. Dia berdiri dan menangis. Tangannya terentang, bermandikan sorot cahaya yang sempurna.

Cikarang, 20 April 2024

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun