Aku bertemu denganmu di tepi hutan kuning, saat kamu sedang berbicara manis kepada burung pipit  dan tupai. Kamu tidak tampan, tapi senyumanmu ramah, dan pria baik adalah hal yang jarang ditemui. Sepanjang hidupku, aku dipandang sebagai orang yang menularkan kesialan, seorang peramal nasib buruk yang hanya membawa kesengsaraan dan kematian, tapi kamu menganggapku cantik, sebuah kesempatan untuk mewujudkan impian yang akhirnya menjadi kenyataan. Kita tidak melihat masa depan satu sama lain, tentu saja, karena  kita sedang jatuh cinta.
Izinkan aku merusak bagian akhirnya.
Kamu akan mencoba membunuhku malam ini.
Namun sebelum itu, kamu akan melihat ke dalam cermin. Cermin milik seorang wanita yang belum pernah kutemui, meski aku pernah melihat wajahnya sebelumnya. Hanya sekali, dalam sebuah penerawangan.
Aku tidak tahu bagaimana kalian berdua berkenalan. Mungkin sebagai pecinta rahasia, tapi itu terasa terlalu mudah, menggambarkan kamu sebagai tokoh antagonis yang bersalah. Intinya adalah, kamu belum menjadi pria jahat sama sekali.
Aku tidak tahu nama wanita ini, atau mengapa kamu membawanya pulang. Aku hanya tahu apa yang kamu minta dari cermin itu. Aku hanya tahu jawabannya, dan bagaimana jawaban itu mendorongmu ke tempat tidur kita dengan kapak di tangan dan pertanyaan di lidah: Benarkah? Benarkah?
Aku tahu bahwa meski aku menjelaskan apa yang kulakukan, mengapa aku melakukannya, kamu bergeming oleh alasanku.
Pembenaran, kamu menyebutnya. Bahkan saat kamu menangis. Berbohong. Alasan. Dosa. Bukan Tuhan yang telah kukhianati, melainkan sebuah perjanjian yang tak terucapkan, kebenaran mendasar yang telah diajarkan kepadamu sepanjang hidupmu. Setiap jalan cerita menjanjikanmu keteraturan alami dalam segala hal ... tapi aku egois. Aku tidak bermain sesuai aturan.
Anehnya, kamu masih mencintaiku. Aku tahu hal terakhir yang akan kamu bisikkan sebelum mengangkat kapak.
Itulah yang seharusnya dilakukan para ibu, dan kemudian--