Aku uakin pipiku meronasaat menunjuk ke meja dan kursi di belakangmu. "Terima kasih ... Him. Silahkan duduk. Kita akan makan kue segera setelah yang lain tiba."
Kamu duduk di kursi di sisi meja.
"Ah, ya, yang lainnya." Dia berdehem. "Apakah Anda sudah merasa nyaman, Nona Ghea?"
Aku mengerutkan kening. Terdengar aneh apa yang kamu katakan, karena kamu adalah bagian dari dewan yang berencana untuk menggusur rumahku. Bel pintu berbunyi lagi, mencegahku menjawab.
Tiga pria berjas menyambutku dengan kasar ketika aku membuka pintu. Anggota dewan yang terhormat: Pak Kaesan, Pak Girang, dan Bu Mayang.
Aku mengajak mereka ke ruang tamu, mengabaikan kerutan mereka saat menatap tangga yang lapuk. Kamu sedang berdiri ketika mereka masuk, menyeruput gelasnya. Kaesan, dengan bibir sempitnya mengerucut, mengabaikan tawaran es teh dan kue dariku dan memelototi kamu saat dia berjalan menuju kursi paling jauh.
Kamu memecah kesunyian setelah menggigit kue pertamamu. "Rasanya luar biasa, Nona Ghea. Sebagus kelihatannya."
Aku tersenyum lega.
"Nona Ghea, kami di sini untuk mendiskusikan rencana dewan untuk mengambil alih dan menghancurkan ... bangunan yang sudah tidak aman ini." Pak Kaesan menunjuk ke arah tangga besar. "Sebagai pewaris properti ini, Anda mempunyai hak untuk menyatakan keberatan Anda terhadap rencana tersebut. Namun saya memahami bahwa Anda tidak memiliki dana untuk memperbaiki rumah dengan benar dan meminta pemerintah kota untuk menyediakannya?"
Mulutku terasa kering. Yang dikatakannya jauh lebih masuk akal di kepalaku. Aku tidak punya cukup uang untuk memperbaiki rumah yang indah tapi reyot ini dan sangat berharap pemerintah kota akan melestarikan sejarahnya.
Kamu menelan gigitan kedua. "Teman-teman, kamu harus mencoba kuenya sebelum berdiskusi tentang penghancuran apa pun. Itu di---"