Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Batas-Tak-Bertuan (XXVIII)

16 Maret 2023   22:00 Diperbarui: 16 Maret 2023   22:58 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya....

Asap memenuhi udara yang sesak berat. Sisa-sisa makhluk bayangan menyulut bara api di tepi mata air.

Malin menghirup udaranya, bersyukur karenanya, lalu menahan napas. Dia perlu bernapas lebih baik. Mungkin masih berlaksa tombak dan berberapa kali tanakan nasi sebelum mereka menjauh dari Hungyatmai dan mencapai tempat penyimpanan senjata Dunia Barat. Terlalu banyak udara di kubangan pasir membuatnya bertingkah seperti Nande. Dia harus berhenti bersikap seperti orang tolol yang ketakutan hanya karena debu.

Malin tak menyangka orang tua itu menembakkan pisser. Lebih buruk lagi dia melakukannya di sini, karena mereka semua bisa terbakar bersana pasir debu dan bayang-bayang. Malin yakin berharap bayang-bayang telah terluka. Dia memeriksa sudut-sudut ruangan yang dibuat Rina'y, menyodok titik-titik paling gelap. Tidak ada yang bergerak, hanya gelap yang biasa, jenis tanpa pikirannya sendiri dan tanpa gigi. Dia melepaskan ketegangan, membiarkan bahunya melorot turun.

Membungkuk dengan tangan terentang dan siap menyerang, Musashito beringsut ke arah mata air, siaga pada setiap gerakan. Di ambang pintu tempat debu bertemu air, dia berlutut, melambaikan tangan ke arah Malin dan para gadis. "Aman. Mari kita cari Si Penghirup Air dan pastikan dia ada di sana."

Malin ternganga dan tetap diam. Bolak-balik antara pahlawan dan pengkhianat menghabiskan kesabarannya. "Aku bosan dengan permainanmu, Pak Tua. Beri tahu kami apa yang harus dilakukan. Jujur saja pada kami."

Musashito meraba medalinya, seolah-olah memanggil versi dirinya yang lebih mulia, mendesah. "Siapa yang membawamu ke sini?"

Betul juga. Namun Musashito memiliki alat pelacak dan telah menembakkan pisser.

"Kerambil." Malin harus mengatakannya, harus memprotes sebelum melakukan seperti yang dikatakan Musashito kepadanya, berjongkok di antara Rina'y dan Lalika, berharap kedekatannya akan mendapatkan pengampunan dari Lalika. Dia mencondongkan tubuh, lenteranya menyorot ke kedalaman air. Malin mengambil satu-satunya potongan yang dia tawarkan, mengikuti sinar yang ke bawah, mencari si Perempuan Setengah Ikan.

Bebatuan berjejer di sisi lalu jatuh. Dia tidak bisa melihat apa pun selain bayang-bayang arus yang bergoyang lembut mengikuti irama Langkaseh. Dia membungkuk lebih jauh, ingin memastikan Alira sedang berenang di sana, bahwa bukan tipu daya dia dan Musashito. Malin melihat wajahnya sendiri berbinar, compang-camping karena siksaan bayangan, pukulan dan siksaan Muka Pucat. Mata masih sama, tapi dia merasa berbeda. Dia telah melukai Lalika. Musashito bukanlah Musashito seperti yang terlihat. Muka Pucat telah keluar dari Dunia Barat mamasuki Batas-Tak-Bertuan untuk menyelesaikan apa yang mereka mulai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun