Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Skandal Sang Naga (Bab 12)

15 Maret 2023   09:09 Diperbarui: 15 Maret 2023   09:08 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim 

Di gedung yang menjadi markas pusat departemen, pintu dibuka oleh Ifan, seorang pria bersuara lembut dengan jaket hitam dan celana panjang bergaris. "Pak Joko Seng," katanya kepadaku seolah-olah mengungkapkan rahasia negara, "sedang tidak ada."

Kesal karena frustrasi, aku bertanya apakah Prima Dasa ada. Aku menuju ke pintu di ujung koridor sementara Ifan berbisik ke telepon. Menutup gagang telepon secara perlahan, dia memberi tahu dengan nada pelan, bahwa Tuan Prima Dasa bersedia menemuiku.

Di perpustakaan, Prima tergeletak di kursi malas dengan gelas di tangannya.

"Joko dipanggil ke istana untuk menjawab pertanyaan anggota dewan yang...." Dia berhenti, menatapku tajam."Hei, kau seperti baru saja melihat hantu!"

"Bisa dibilang begitu," jawabku. "Archer, orang Amerika yang kami temui di Shanghai, mati. Dibunuh."

Aku bersiul kecil, membuka kursi malas yang terlipat.

"Yang kau butuhkan minuman." Dia menyeberang ke lemari minuman dan membukanya. "Brendi kurasa pas untuk situasi semacam ini."

Prima mengambil sebuah botol. "Ah, iya. Seorang kurir." Menuangkan ke dalam gelas kristal dengan nada percakapan yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa gugupku, "Persediaan minum Bos tak pernah habis. Kalau kau mau tahu selera kulinernya, sekali-kali ikut dia makan siang. Kujamin setelah itu kau bisa membunuh musuh negara sebanyak yang kau mau."

Aku sudah duduk di kursi malas di seberangnya ketika dia kembali dengan brendi. "Maaf merepotkan," kataku, mengambil gelas darinya. "Tapi aku tidak biasa melihat mayat."

"Nanti kau akan terbiasa, percayalah," katanya sambil duduk di kursinya. "Joko memberitahuku tentang orang Amerika ini. Kau Ingin bercerita, Han?'

Aku menguraikan kejadian di apartemen Ranya.

"Dan si pembunuh meninggalkan apartemen dengan cara yang sama dengan yang caramu, melalui balkon?"

Aku mengangguk. "Setelah terlebih dahulu menyelipkan kunci pintu di bawah pintu depan."

Prima mengerutkan kening. "Itulah yang membuatku bingung, Han. Mengapa dia memudahkan kau menemukan mayat dengan begitu cepat? Kau pasti setuju bahwa seorang pembunuh ingin memberi dirinya banyak waktu untuk kabur."

"Itulah yang terjadi padaku."

Aku menyesap brendiku, mencoba menikmatinya.

"Atau," Prima memejamkan mata berpikir. "Kau diminta datang ke apartemen oleh si pembunuh. Dia memberi kau kuncinya, yakin betul kau akan masuk. Kemudian, dia memberi tahu polisi bahwa telah terjadi pembunuhan. Polisi datang ke apartemen, menemukan kau di sana dengan mayat korban. Dan---"

"Aku memang diminta datang ke apartemen, tapi oleh Ranya."

Prima memandangiku dengan santai dari tepi gelasnya. "Jadi dia pembunuhnya?"

"Oh, come on, Han!" bantahku putus asa. "Ranya tidak ada hubungannya dengan pembunuhan itu. Aku mengawasinya dari kamar tidur saat dia masuk ke apartemen. Dia ketakutan ketika dia melihat mayat itu. Dia juga yang memanggil polisi."

"Saksi yang meringankan silahkan kembali ke tempat," katanya

"Yang aku bilang fakta. Reaksinya adalah reaksi perempuan mana pun yang menemukan mayat di apartemennya," kataku kesal. "Ngomong-ngomong, untuk apa aku membelanya?"

Dia menatapku geli. "Nona Ranya kita adalah gadis yang sangat menarik," katanya. "Aku ingin tahu, apa yang dilakukan Archer di apartemennya?"

"Aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah Ranya sama terkejutnya denganku ketika menemukan tubuhnya tergeletak di karpet."

"Kau bilang tas Archer tergeletak di lorong. Dan isinya berserakan di sekujur tubuhnya di ruang tamu?'

"Boneka CIna, Katalog lelang, dan kronometer."

"Boneka Cina itu," katanya sambil berpikir, "Apa yang menyebabkan si pembunuh mengeluarkan penyumpalnya?"

"Jelas dia mencari sesuatu yang bisa disembunyikan di dalam boneka itu."

Prima mengangguk. "Apakah ada sesuatu yang istimewa dengan kronometer itu?"

"Secara mekanis sama saja dengan yang lain. Tapi yang ini kelebihannya ada pada ornamen. Diukir dengan indah dan dicat cerah, hal yang bisa saja ditemukan di toko suvenir."

Jari-jariku mencengkeram gagang gelasku. "Banyu Putih sedang membawa kronometer ketika dia tidak sengaja terbunuh, bukan? Apakah miliknya serupa dengan punya Archer?"

"Barusan kau gambarkan menggambarkannya dengan cukup akurat."

"Lalu ...," aku yak menyelesaikan kata-kataku.

Prima menggelengkan kepalanya. "Itu bukan punya Banyu. Bos menguncinya di dalam brankas. Setelah dia menunjukkannya padaku." Dia tersenyum. "Departemen ini terkadang berhasil menarik satu atau dua simpul, kau tahu, Han?"

Aku sangat terkesan, lalu menghabiskan brendiku.

"Selanjutnya apa yang akan kita lakukan?"

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun