Malin mempertimbangkan untuk berdebat dengan Rina'y lalu memutuskan untuk diam. Ada kebenaran dalam kata-katanya.
Malin mengumpulkan kantung minum dan berlutut di depan lubang air, mencelupkan ke dalam wadah terbesar terlebih dahulu. Dia melonggarkan topengnya dan mengangkatnya cukup untuk menyesap suguhan dengan hati-hati. Malin belum pernah mencicipi air segar sejak meninggalkan Tiluwaskita. Air itu bergulir manis di lidahnya dengan kerenyahan yang membawa kembali kenangan keluarga dan cinta yang turun ke nostalgia dan kepahitan. Dia memuaskan rasa hausnya yang luar biasa, rasa haus yang telah menumpuk selama tiga tahun, memasang kembali topengnya dengan pas, lalu mengisi semua kantunglalu membagikannya kepada pemiliknya masing-masing. Alira mencurahkan isi kantung miliknya ke atas kepala sambil menjilat bibirnya.
Malin duduk di tanah, bergeser untuk duduk di kaki Lalika, mencuri kesempatan untuk berbaik dan meminta maaf karena telah melukainya. Dia bertanya bagaimana lengannya. Lalika mengabaikannya, memeriksa debu di lantai, dinding, dan langit-langit. Tidak lebih menarik dari pelapis lainnya. Kerambil.
Si Napas Insang masih saja berusaha untuk melewati Musashito, merayap menuju mata air. Lagi dan lagi. "Air adalah rumahku. Tolong, biarkan aku pergi."
Setiap kali, Musashito menghentikannya dengan tamparan dan kata-kata jujur tentang nasibnya jika dia menyelam ke sumber mata air. Tidak ada yang membuatnya diam selama lebih dari lima belas detik.
Apa yang ingin dibuktikan lelaki tua itu dengan berulang kali menyelamatkan si Makhluk Air?
Malin bermaksud mencari tahu. "Jadi, berapa lama kita tinggal di sini? Dan bagaimana rencana kamu untuk membawa mata air kembali ke dermaga bandar Langkaseh?"
"Kita menunggu di sini sampai Hungyatmai pergi," kata Musashito. "Aku sudah memberitahumu. Ini bukan cadangan yang dicari Muka Pucat. Berhentilah mengoceh tentang persekutuan gelap."
Orang tua itu selesai berbicara. Malin mendengus. "Air bisa digunakan sebagai senjata. Bukan begitu, Rina'y?"
"Tentu. Di beberapa wilayah, hanya dengan menyembunyikan air  menjadi senjata yang hebat. Seperti di sini. Kita sudah menunggu pasokan terlalu lama. Aku sudah berencana meminta keping dikembalikan dan mencari pemasok baru. Apa yang kita bayar?
Tidak ada, itulah yang terjadi. Itu membuat aku sangat jengkel. Aku hanya bisa ... Tapi sekarang kita punya air sendiri. Disini." Dia menunjuk sambil tertawa. "Hari-hari berhemat kita sudah berakhir. Ini luar biasa. Luaaar Biasa. Aku tahu Langkaseh akan menjadi rumah yang hebat. Bukankah aku sudah memberitahumu, Malin? Ketika kita berada di Begal Laut berlayar mencari rumah, aku sudah kita kami tidak akan pernah mendapatkan yang lebih baik dari Langkaseh."
Meski Langkaseh tampak seperti surga saat itu, ilusi itu tidak berlangsung lama, dengan cepat terbenam dalam debu. Hingga saat ini, Malin telah melupakan kegembiraan menjadi pemukim di sini dan kebahagiaan dengan tangannya sendiri menempa kedai dari puing-puing bahan bekas, menerima bantuan dari teman-temannya yang menjadi keluarga. Sekarang kenangan itu ternoda. Musashito telah berbohong, berbohong dengan buruk.
Ludahnya menyembur. "Sudah berapa lama kamu tahu tentang sumber mata air, Pak Tua? Dan mengapa kamu tidak pernah mengatakannya kepada kami semua?"
"Kurasa kamu tahu kenapa." Musashito meraih medalinya, pada titik ini tidak lebih dari penghormatan atas betapa kacau otaknya.
Malin menyilangkan tangan di depan dadanya yang lebar. "Tidak, aku tidak tahu."
"Untuk memastikan kita kuat saat musuh datang. Itu sebabnya. Kalau aku memberi tahumu tentang sumber ini, maka seluruh kaum Dunia Taimur, terutama Hungyatmai akan datang mengeringkan mata air."
Mungkin, tapi Malin tidak mau mengakuinya. "Alasanmu lemah dan timpang."
"Pikirkan lagi apa yang akan dilakukan Pemburu dari Persemakmuran." Musashito menyerang Malin, menggertakkan giginya, melonggarkan cengkeramannya pada Nafas Air.
Alira membebaskan diri, melesat melewatinya dan menyelam ke mata air. Tubuh langsingnya nyaris tidak membuat cipratan, hanya sedikit percikan, ketika kedalaman cadangan bawah tanah menelannya. Bayangan melayang di tepi, tapi mereka tidak mengikuti. Mungkin mereka tidak bisa bertahan di dalamnya lebih baik daripada kebanyakan manusia.
Malin mundur, berharap mereka tidak akan mengarahkan pandangan mereka padanya atau gadis-gadis itu. Dia menarik Lalika dan Rina'y bersamanya.
Bayang-bayang memekik, membengkak dalam ukuran mengisi ruang, membungkus lentera Lalika dan Musashito, membuat lubang debu menjadi gelap gulita.
Bentuk mereka yang dingin menyelimuti Malin. Dia terengah-engah mencari udara. Itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Bayangan berderak dan bergeser seperti seribu belut yang berkelok-kelok di sekelilingnya, merenggut tangannya dari tangan Rina'y dan Lalika.
Kegelapan merayap. Malin tersentak. Bayang-bayang menempel, mencengkeram lehernya. Dia tersedak. Percikan warna-warni melintas di balik kelopak matanya, dan dunia menjadi lebih gelap. Dia tahu dia akan kehilangan kesadaran dan ragu dia akan bangun. Berlutut, dia pasrah.
Kemudian terdengar letusan. Sinar biru berkelebat ke mana-mana seperti bintang yang baru lahir sebelum senja. Bayangan mendesis, jatuh, mundur ke tepi gua yang dibuat Rina'y.
Malin merangkak  menyeret Rina'y, meraba-raba dan menyentuh Lalika. Lalika bergegas di belakangnya.
Di seberang mereka bayang-bayang merintih, berkerumun di sekitar mata air, meratap untuk Nafas Air. Dari balik bahu Malin, api menyembur ke dalam bayang-bayang, mengalirkan penderitaan, cahaya biru menyala menjadi kobaran api. Api pisser!
Bayangan melolong seperti kuntilanak, terbakar dan meronta-ronta. Hancur.
Malin berputar untuk memarahi Musashito karena menggunakan senjata tabu. Bagaimana Muka Pucat membuat lelaki tua itu berkhianat?
Dia tidak memegang apa-apa selain medalinya, menatap ke tempat di mana bayangan itu berada.
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI