Bayang-bayang memekik, membengkak dalam ukuran mengisi ruang, membungkus lentera Lalika dan Musashito, membuat lubang debu menjadi gelap gulita.
Bentuk mereka yang dingin menyelimuti Malin. Dia terengah-engah mencari udara. Itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Bayangan berderak dan bergeser seperti seribu belut yang berkelok-kelok di sekelilingnya, merenggut tangannya dari tangan Rina'y dan Lalika.
Kegelapan merayap. Malin tersentak. Bayang-bayang menempel, mencengkeram lehernya. Dia tersedak. Percikan warna-warni melintas di balik kelopak matanya, dan dunia menjadi lebih gelap. Dia tahu dia akan kehilangan kesadaran dan ragu dia akan bangun. Berlutut, dia pasrah.
Kemudian terdengar letusan. Sinar biru berkelebat ke mana-mana seperti bintang yang baru lahir sebelum senja. Bayangan mendesis, jatuh, mundur ke tepi gua yang dibuat Rina'y.
Malin merangkak  menyeret Rina'y, meraba-raba dan menyentuh Lalika. Lalika bergegas di belakangnya.
Di seberang mereka bayang-bayang merintih, berkerumun di sekitar mata air, meratap untuk Nafas Air. Dari balik bahu Malin, api menyembur ke dalam bayang-bayang, mengalirkan penderitaan, cahaya biru menyala menjadi kobaran api. Api pisser!
Bayangan melolong seperti kuntilanak, terbakar dan meronta-ronta. Hancur.
Malin berputar untuk memarahi Musashito karena menggunakan senjata tabu. Bagaimana Muka Pucat membuat lelaki tua itu berkhianat?
Dia tidak memegang apa-apa selain medalinya, menatap ke tempat di mana bayangan itu berada.
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI