Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Batas-Tak-Bertuan (XVIII)

11 Desember 2022   15:00 Diperbarui: 13 Desember 2022   21:20 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

"Aku sudah menyiapakan perlengkapan untukmu." Jarum melambaikan pissernya ke pintu. "Itu di luar di samping gerobak-segala-medan punyamu. Cangkul dan sekop. Aku yakin kalian akan membutuhkannya, dan ada bola selam serta tabung udara."

Membuka lemari penyimpanan di antara rak-rak minuman, dia mencari-cari dan membuang barang-barang ke samping, lalu akhirnya mengangkat kemoceng bulat Malin. "Akan berhuna uga untuk kalian bawa." Dia menyelipkan lengan ke dalamnya.

Malin merenggutnya sebelum dia menyampirkannya ke lengan bajunya yang lain. "Itu milikku." Dengan dagu dia menunjukkan peralatan pembuat minuman yang berserakan di lantai. "Ambil dan taruh kembali di tempat kamu menemukannya."

Dia beralih ke berada di belakang meja pembuat minuman untuk mengambil beberapa barang lain yang diaperlukannya jika dia harus pergi jauh.

Bola selam dan tabung udara. Malin punya bayangan tentang ke mana mereka akan pergi, ke utara ke danau debu. lubang besar jelaga yang menelan apa pun yang cukup bodoh untuk mencebur ke dalamnya. Kerambil.

Jarum menghalangi jalannya, mendorongnya ke pintu. Pissernya mendesis, tanda siap untuk menembak kapan saja. "Kalian tidak punya hak memberitahuku apa yang harus kulakukan. Paham, sampah Timur?"

Emosi. Malin melingkarkan lengannya dan menariknya ke belakang. Sdi Muka Pucat akan tahu apa artinya paham.

Musashito meraih pergelangan tangan Malin. "Kamu bisa meninggalkan tangki udara dan selang di sini, Nak. Tidak perlu membuang persediaan udara saat kita dapat menggunakan milik orang lain secara gratis."

Tidak ada yang gratis.

Harag yang harus dibayae datang dalam melakukan pekerjaan Muka Pucat, paling mungkin bertentangan dengan kepentingan Persemakmuran Dunia Timur. Kejahatan terburuk yang pernah ada, selain  kemungkinan mati.

Dia mencibir Musashito. "Tidak. Tidak mungkin. Tidak bagaimanapun juga."

Namun, Malin tidak akan memboroskan tabung udara. Dia hanya punya satu yang tersisa dan tidak bisa berenang lebih dari sepenjerangan air dalam danau tanpa itu. Udara dalam danau dan gua Langkaseh  terlalu tipis untuk dikompensasi oleh paru-paru Ma'angin lebih lama dari itu. Tanpa pasokan udara ekstra, dia akan pingsan dan mati.

Tidak mau menunjukkan kepada lelaki tua itu bahwa dia telah mendengarkan, Malin menolak untuk menatap tatapan Musashito. Bajingan itu tidak pantas menyebut namanya. "Apakah perlengkapanmu termasuk obat-obatan?" dia bertanya pada Jarum.

Lalika menumpahkan darah ke lantai dan luka bakar di pelipis Rina'y melepuh merah dan hitam.

"Aku punya satu di kendaraan-segala-medan," kata Musashito. "Apakah itu masih di sana?" tanyanya, memelototi pemimpin Muka Pucat.

Bersandar di lekukan meja, Jarum menendang kursi yang terlalu dekat dengannya. "Aku sudah cukup bicara dengan kalian. Sekarang keluar, atau jariku yang sudah gatal ini akan mulai menarim pelatuk. Dimulai dengan mereka berdua."

Dia memindahkan pengaturan pisser ke posisi dua, mengarahkannya ke Mantir dan Dikker yang terikat di dekat pintu, hanya lima langkah dari Malin, dan penghuni Langkaseh lainnya, dua puluh langkah dari tempat Jarum berdiri. Jarak antara pemimpin Muka Pucat dan korbannya tidak akan mempengaruhi akibat yang ditimbulkan dengan pisser. Itu sama kejam dan mematikannya dari jarak dua ratus langkah.

Malin ragu-ragu. Langkahnya tertahan. Dia menganggap Mantir dan Dikker sebagai saudara, gelar yang diperoleh melalui petualangan bersama di atas kapal Begundal Laut sebelum mereka menetap di Langkaseh. Berputar, dia mengarahkan tinjunya ke kepala Fowo terdekat.

Dikker meraih Malin, "Jangan bodoh. Jaga kekasihku." Butuh delapan Muka Pucat untuk menahan Dikker. Sebagai anggota suku Moban, jenis puak Dunia Timur yang pendek dan gempal, Dikker bagai landasan logam dan dibuat untuk menahan bebar besar.

"Kamu jaga dia. Janji." Tatapannya yang putus asa bertemu dengan Malin.

Malin perlahan menurunkan kepalannya. Rina'y sungguh membutuhkan perawatan. Begitu pula Lalaika. Hanya dialah satu-satunya yang bisa dia percayai untuk melindungi mereka dari kaki busuk, bayang-bayang menyeramkan, dan Pernapasan Air.

Malin mengangguk pelan dan bergabung dengan kedua gadi itu di pintu. Muka Pucat menganggapnya sebagai tanda untuk terus menjadi bajingan.

Salah satu Muka Pucat menjambak rambut keriting Dikker yang panjang dan gimbal, yang belum pernah dipotong, sumber kebanggaan dan harga diri di antara Moban. Muka Pucat menempelkan lencana Badan Otoritas Persemakmuran Suku-Suku Dunia Timur Dikker yang sudah tak berfungsi ke judatnya yang lebar, menempelkannya dengan menembakkan pisser. Pengaturan satu. Cukup untuk membuat Boman semaput. Membuat perut Malin mual.

Ratapan Rina'y mengimbangi rintihan kekasihnya. Malin meraih tangannya. Menggandengnya, melindunginya dari kengerian, membelai bahunya yang gemetar.

Muka Pucat semakin menjauh, dan Malin menangkap sosok Mantir. Sang Daiaq, pedagang Langkaseh, terjaga di kaki kursi di dekat hidung paruhnya, tak berani mengangkat wajah atau anggota tubuhnya yang ramping untuk bertahan. Setiap kedutan diiringi pukulan oleh sepatu but dan tinju Muka Pucat. Hiasan bulu burung warna warni terguncang bergetar, begitu juga dagunya yang berlesung yang menutup rahangnya.

Malin mengatupkan gigi dan mengepal tinju. Musashito menahan Malin di pintu.

"Jangan sekarang," kata orang tua itu.

Malin gemetar menahan amarah. "Bagaimana kamu bisa tahan?"

"Emosi takkan  membuat keadaan lebih baik, Nak. Pikir. Nalar memberitahu kita untuk melakukan perintah Muka Pucat. Sekarang, pergilah ke kendaraan-segala-medan."

Orang tua itu menggiring Malin, Lalika, Rina'y, dan Alira keluar dari pintu. Bayangan mengikuti, semakin membuat Malin kesal. Segala sesuatu sejak kapal itu berlabuh membuat kesabarannya habis, membuatnya gugup dan gelisah. Dia berbalik ke arah Napas Insang, menudingkan jari ke arah teman-temannya yang suram. "Mereka tinggal!"

"Mereka ikut ke mana pun aku pergi," kata Alira. "Tidak ada yang bisa kulakukan tentang itu. Tidak lagi."

 Kerambil.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun