Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Batas-Tak-Bertuan (XII)

26 November 2022   12:00 Diperbarui: 26 November 2022   12:07 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Bunyi ledakan yang membahana dari dermaga tempat kapal berlabuh memorak-porandakan keyakinan Malin yang baru terbentuk, disusul oleh beberapa ledakan lagi. Barang-barang dan peralatan kedai bergetar dan berdentang. Terdengar suara tangga kapal berdebam turun dan berhenti. Ledakan meletus. Barang bergetar dan bendentang. Tangga kapal berdebam. Prosesnya berulang.

"Mereka datang! Mereka datang!" Alira mencibir, mengetuk-ngetukkan jarinya mengikuti bunyi-bunyian dari jauh yang berdenyut rendah dan mantap.

"Kamu dengar suara kaki yang berderap itu?" Dia tertawa nyaring tanpa henti, meluncur turun dari kursi, memukul meja, mendengus seperti kerbau kerdil dari Beleces.

Hentakan itu menjadi lebih jelas, lebih rendah, menenggelamkan ejekannya, mengambil alih denyut jantung Malin hingga dia mencengkeram dadanya.

Jadi, Gadis Insang tidak sendirian. Tetap saja dia tidak bisa dipercaya. Makhluk Air itu harus berhenti bermain-main dengannya. Dunia Barat bukanlah main-main, atau untuk digunakan untuk menakut-menakuti. Si Manusia Ikan harus memahami itu melalui otaknya yang becek terendam air.

Malin mengencangkan kepannya, menghantamkannya ke meja kayu kerambil. "Kamu berbohong padaku. Katakan yang sebenarnya. Siapa yang ada di kapal itu?"

Alira balas melotot. "Sudah kubilang, mereka dari Dunia Barat, dan mereka menginginkan sesuatu yang mereka tinggalkan di sini."

Apa? Pasir? Debu? Kulit kerang?

Langkaseh tidak punya apa-apa. Jika ada yang tertinggal di pulau ini, Musashito, Mantir, atau Nanjan, akan menemukannya. "Langkaseh tidak pernah menjadi garis terdepan atau medan pertempuran. Jangan coba-coba menipuku."

"Dunia Barat lebih pintar daripada yang pernah disangka oleh kaum Dunia Timur."

"Sepertinya kamu sudah terlalu lama bergaul dengan mereka, Sayang."

Sudah berapa lama huru-hara terjadi di Werlang?

Ini saatnya untuk memanggil bala bantuan.

Malin menarik tali yang tergantung di belakangnya. Tali itu tersambung ke tempat tetangga dan temannya, mantan pemburu kepala dari Badan Otoritas Persemakmuran Suku-Suku Dunia Timur. Di ujung sana sebelah sana tergantung beberapa batok yang akan membuat suara berisik, yang artinya "Dikker, segera ke sini."

Mantan pemburu buronan yang kini menjadi syahbandar pelabuhan Langkaseh itu tidak membalas panggilannya, yang menggunakan cara serupa. Hanya saja di bagian kedai berupa lembar-lembar kain kecil tergantung di dekat jendela.

Malin mencoba lagi sambil matanya terus mengawasi si Napas Air. Tidak ada yang tahu bagaimana betina itu bertindak untuk memuaskan kecanduan tuaknya selanjutnya. Dia menarik tali komunikasi Dikker untuk ketiga kalinya. "Hantooom!" akhirnya dia berteriak semampu paru-parunya menyemburkan udara.

Dikker tidak menjawab.

"Sayang, keliahtannya temanmu tidak ada di rumah. Bisa jadi karena teman-temanku sudah bertemu dengan teman-temanmu dan sekarang mereka sedang bersama-sama. Ya. Teman-temanmu akan kmari, tetapi bukan karena kamu yang memintanya."

Anak rambut di tengkuk Malin berdiri. Sekarang suara derap kaki semakin mendekat mengguncang permukaan tanah.

"Diamlah, Sayang. Aku sudah muak dengan omong kosongmu."

"Namaku Kordalira. Ingat baik-baik. Siapa tahu kamu hidup cukup lama untuk menceritakan kembali kejadian hari ini."

Malin menatapnya dengan garang yang dibalas dengan tak kalah masam.

Terdengar suara benturan dengan irama menyentak dari perlabuhan, bergaung di sekitar dermaga. Teriakan-teriakan bercampur dengan kebisingan, terdengar tidak menyenangkan di telinga Malin. Dia bisa mendengar beberapa temannya berteriak memprotes---Mantir, Rina'y, dan Dikker.

Apakah suara-suara lain itu benar-benar suara tentara Dunia Barat? Dia menahan keinginan untuk meraih busur pendeknya dan menunduk. Kedai ini miliknya, sialan, dan sekarang si Pernapasan Insang mempersoalkan nama lengkapnya. Dia tidak berniat menyebutkan nama itu, lebih memilih untuk menyebutnya sebagai pengemis mabuk dengan busana norak dan hantu hitam yang bisa dilepas, pantas mendapatkan tendangan keras di pantatnya, dan daun pintu yang menamparnya dengan keras saat keluar.

"Sebagai bayaran untuk tuak yang kamu minum, kamu akan memberitahuku bagaimana cara tetap hidup, menjaga Dunia Barat dari melakukan kerusakan. Mulai bicara." Dia menarik lengan Alira dan memelintir pergelangan tangannya.

Alira memekik. Bayangan itu melompat dari sisinya, menutupi wajah Malin, membuat Malin lesulitan bernapas.

Dia terhuyung mundur dan jatuh menabrak susunan kendi. Suara benda pecah berdentang ricuh yang diredam oleh benda yang menutupi kepalanya, seolah-olah dia berada di luar. Malin menghitung setidaknya sepuluh kendinya hancur. Mungkin lebih. Tiga putaran matahari berhemat dan bekerja keras berakhir berkeping-keping, cair menggenang lantai.

"Dasar anak jadah!" Dia mencakar wajahnya untuk melepaskan Bayangan itu, hanya untuk menyebabkan pipinya luka tergorek kukunya sendiri.

Makhluk redup itu menolak untuk mengalah. Udara terhenti di paru-parunya. Dadanya naik turun dan dunianya berputar. "Musashito, keluar dari lemari!"

Pecahan kendi berderak di bawah kaki Malin. Dia mencium aroma tuak yang hilang menguap bersama keberuntungnya dari lantai. Dunianya berputar. Berpusing dan berpusing dan berpusing karena kekurangan udara, dan akhirnya dia jatuh berlutut.

"Angkat tangan," terdengar suara Musashito, kata-katanya teredam oleh bayang-bayang yang mengental.

Kemudian terdengar sedotan yang nyaring, tajam dan kuat, bahkan mampu menembus kegelapan dan merembes ke telinga Malin, mengacaukan pendengarannya, menekan otaknya, membuat nalarnya sakit.

"T-tidak. B-bukan kalian," kata Musashito.

Suara si tua itu bergetar ketakutan, sesuatu yang belum pernah didengar Malin sebelumnya, membuat sendi-sendinya lemas, membuat lututnya menggigil. Dengan bunyi gedebuk, Malin jatuh ke tanah.

Suara lemah Lalika memecahkan semua kekacauan, sejelas langit samudara di waktu dini hari setelah badai. "P-panggil mereka, Kordalika. Suruh mereka pergi dari Malin."

Dan mendadak saja, bayang-bayang hitam meninggalkan wajahnya. Malin mendesis tersedak karena udara tiba-tiba mengalir ke dadanya, jantungnya memompa darah untuk mengantarkan oksigen ke otaknya, tapi dia memaksakan diri untuk merangkak dengan tangan dan lututnya. Memegang tepi meja, dia menarik dirinya ke atas dan berdiri meringkuk di atas meja peramu tuak, terengah-engah.

Dia meludah dan menggeram, melotot menatap kekacauan di bawah kakinya, lalu pada si Manusia Insang.

"Kamu akan membayar mahal untuk ini."

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun