Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Penyihir Kota Kembang: VI. Kencan Makan Malam (Part 2)

18 Oktober 2022   16:30 Diperbarui: 18 Oktober 2022   16:36 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Seorang pramusaji datang ke meja mereka membawa buku menu, menyelamatkan mereka berdua dari kekikukan yang tak perlu.

"Selamat malam, nona-nona," katanya, dengan senyum di wajah. "Apa yang ingin Anda nikmati malam ini?"

"Haal wat mineraalwater, itu aja dulu," kata Chintami sambil melihat-lihat menu, "kami akan panggil lagi nanti."

Pramusaji tersenyum sopan dan pergi. Citraloka menatapnya sekilas.

"So," kata Chintami, "Ataya sudah menjadi volledige heks. Itu... sesuatu."


Citraloka mengangguk. "Ini pasti 'sesuatu'." Dia mendesah. "Kemarin dia masih seorang anak kecil yang bermain dengan mainan dinosaurusnya dan sekarang dia sudah dewasa dan ingin membakar manusia."

"Ya. Anak-anak sekarang tumbuh sangat cepat."

"Benar," kata Citraloka, nadanya menurun.

Pramusaji kembali dengan membawa dua botol Evian.

Saat dia pergi, mata Citraloka kembali mengikutinya.

Chintami mengetuk meja, membuat dia kembali meluruskan kepalanya ke depan.

"Wat is er mis?" Chintami berbisik.

Citraloka melihat sekeliling. "Ada yang salah," jawabnya pelan.

Chintami mengepalkan tangan. "Ada yang datang?"

Citraloka menatap seorang pria yang melewati meja mereka. "Di mana kamu menemukan restoran ini?"

Chintami mengangkat bahu. "Ekke baca iklan di koran di toko. Ik snap het niet, Wat is er mis? Citra, bicara padaku."

Citraloka menatap Chintami.

Dan mendadak dia mengerti.

"Tapi...," Chintami tergagap, "kita tidak berlangganan koran. Jij mengancam bocah laki-laki yang dulu mengantar --"

"Bukan ada yang datang," kata Citraloka sambil berdiri. "Dia sudah ada di sini. "

Chintami juga berdiri dan kemudian, seluruh restoran membeku. Orang-orang berhenti makan. Para pelayan mematung di antara meja dan kursi dengan makanan di tangan mereka. Para koki juga membeku di depan kompor. Bahkan nyala api berhenti.

"Apa..." ucap Chintami. Lalu semua orang menghilang, hanya menyisakan mereka berdua.

Citraloka pindah ke sisi Chintami dan menggenggam jarinya dengan lembut, mengusapnya dengan ibu jari. Chintami menjadi lebih tenang.

Chintami menatap Citraloka. "Een tot tien, berapa besar masalah yang kita hadapi?" dia bertanya.

Citraloka menatapnya tanpa menjawab.

Tepukan pelan terdengar di seluruh ruangan saat seorang pria masuk ke restoran. Jubah hitamnya terlalu kecil untuk menutupi perutnya yang buncit. Tangannya memegang tongkat dari kayu merah. Tato dengan pola hewan menghiasi sekujur tubuhnya.

"Mbah Doko," desis Citraloka. Kata-katanya menyemburkan bisa. "Apa yang kamu lakukan?"

"Heh heh heh, Citraloka," kata pria itu sambil berjalan perlahan ke meja di depan mereka dan duduk di kursi. "Begitukah caramu menyambutku?"

"Baiklah," kata Citraloka. "Mbah Doko, bajingan bandot tua tak punya malu, apa yang telah kamu lakukan?"

"Wie is zij?" Chintami berbisik.

"Bukan siapa-siapa," jawab Citraloka.

"Betulkah?" Mbah Doko bertanya sambil tersenyum samar. "Apakah kamu benar-benar yakin tentang itu? Benar-benar yakin? Benar-benar sangat yakin? "

"Apa yang kamu inginkan?" tanya Citraloka dingin.

"Aku sudah lebih sakti sekarang," katanya sambil memeriksa kukunya yang hitam. "Kamu bisa merasakannya, bukan? Mantra sihir memenuhi udara."

Citraloka melenturkan jari-jarinya, dan percikan api biru menyala di tangannya. "Aku akan membunuhmu," katanya.

"Aku juga," kata Chintami, dan percikan api biru menyala di tangannya.

"Kalian tahu?" lanjut Mbah Doko, sama sekali tidak memedulikan kedua penyihir wanita itu, "Aku telah menemukan sesuatu. Sebuah rahasia."

Citraloka menatapnya tetapi tidak mengatakan sepatah kata pun.

"Rahasia apa?" Chintami yang bertanya.

"Rahasia para penyihir," kata Mbah Doko dan segera mulai tertawa. Tawa yang menyakitkan telinga manusia dan hewan, bahkan juga telinga mayat. Mendadak tawanya berhenti dan dia menatap Citraloka, "Dia tahu. Oh, dia tahu. Itu semua salahnya. Dan dia tahu itu semua salahnya."

Chintami menatap Citraloka. "Wat zei hij?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Chintami, Citraloka menuju Mbah Doko. "Apa yang kamu inginkan?"

Dia tersenyum. "Oh, kamu tidak tahu?" tanyanya. "Yang aku mau sangat sederhana. Yang aku inginkan hanyalah kamu, dan dia," menunjuk ke Chintami, "untuk menderita. Itu saja."

Jendela restoran menutup dengan sendirinya. Angin puting beliung bertiup di dalam ruangan. "Kamu mengambil semua yang aku cintai, perempuan jalang," desis Mbah Doko. Senyumnya menghilang. "Dan sekarang, aku akan mengambil semua yang kamu sukai, satu per satu, mulai dari penyihir kecilmu itu."

Citraloka melambaikan tangannya dan selarik api biru meluncur ke arah Mbah Doko. Tapi mereka sudah tidak lagi berada di dalam restoran.

Mereka ada di tepi pantai. Berdua.

Terdampar, tak berdaya.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun