Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rasa Jahe

14 Oktober 2022   09:00 Diperbarui: 14 Oktober 2022   08:59 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari-hari ini ketika aku terbangun, rasa jahe yang samar tertinggal di belakang tenggorokanku.

Aku menghabiskan berjam-jam di pagi hari menyaksikan sinar matahari meluncur melalui gorden yang tertutup debu, warnanya mengingatkan pada liburan pantai yang dipenuhi pasir dari masa kecilku.

Perjalanan hari ini bukan ke pantai.

"Mungkin sebaiknya kita tidak membawa jeruk," istriku berkata sambal berjalan ke kamar tidur. Menggelung rambutnya yang meluncur melewati pundak. Dia berbicara tentang es loli rasa mangga, khususnya yang cocok dengan perjalanan panjang Agustus di KIA Pinto mereka AC-nya rewel.

Istriku bertanggung jawab atas perencanaan rute dan aku bertugas mengepak, tetapi makanan ringan selama perjalanan membutuhkan persetujuan dua orang. "Atau, apakah rasa ceri lebih baik?"

Aku mengangguk.

Ibuku sering bercerita tentang bunga Sakura di Ueno, bagaimana kelopaknya berputar dan jatuh, menutupi tanah meronai salju. Aku yang berusia lima tahun membayangkan udara di Tokyo beraroma manis dan sejuk seperti es loli ceri.

Setiap kali aku bertanya apakah itu benar, ibu akan menghentikan apa pun yang sedang diirisnya. Entah timun, daun bawang, jahe, apapun untuk membumbui fillet ikan dori dari supermarket. Ibu menghela napas Panjang dan mengingatkanku untuk mengerjakan pekerjaan rumah matematika. Matematika itu mudah bagiku. Aku tahu bahwa aku adalah hasil pembagian. Hasil yang didapat dari pembelahan sel antara ibu dengan pria yang pergi sebelum aku lahir.

Aku ke kamar mandi sambil mengucek mata dan mengemas perlengkapan mandi. Untuk semalam menginap. Sikat gigi. Pisau cukur. Obat alergi. Pasta gigi khusus untuk gigi istriku yang sensitif. Pelindung untuk mencegah gemeretak gigi.

Aku berharap koper berikutnya nanti yang akan kami kemas bersama adalah untuk tempat yang jauh seperti Maroko atau Mesir.

Ketika masih muda, aku bermimpi berbaring di gurun, di bawah bintang-bintang. Membuat tenda dengan selimut dan beberapa gagang sapu di halaman belakang.

Tempat berlindung adalah yang paling penting. Terutama untuk mimpi, kata ibu. Jika aku tidak melindungi es loli rasa ceri, maka akan menjadi pahit. Aku selalu memperhatikan kualitas rasa.

"Begini saja, Sayang," suara istriku datang dari ujung selasar. "bagaimana jika kita bawa dua rasa es loli untuk dibagi-bagi dengan yang lain?"

Tas perlengkapan mandi ditutup dengan ritsleting yang keras. Pada hari pernikahan kami, ibu memperingatkanku bahwa tidak akan ada yang tersisa jika aku berbagi terlalu banyak tentang diriku dengan orang yang salah. Hari-hari ini aku bertanya-tanya apakah itu benar-benar penting. Semua orang menghilang pada akhirnya.

Meninggalkan kamar mandi, aku menatap setelan hitam klasiknya dan gaun hitam istriku yang diletakkan berdampingan di tempat tidur. Pakaian poliester yang serasi berwarna gelap, kusut, dan berbau karena jarang dipakai. Hanya untuk pemakaman, pikirnya dalam hati.

Aku menelan ludah dengan susah payah melawan luka bakar yang membekas di tenggorokan., rindu untuk didinginkan oleh es loli rasa ceri yang menunggu diam di dalam kulkas.

Bandung, 14 Oktober 2022

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun