"Tanpa ragu, Kaniya berputar dan menusuk tombaknya ke musuh yang menyelinap dari belakang ke arah mereka. Tapi meski, terluka di dada, penyusup itu masih tangkas dan trengginas, menebas wajah Kaniya yang menggenggam tombaknya erat-erat saat dia melihat ke mata musuh, mata orang sekarat. Panglimanya sendiri."
"'Grawira,' dia menarik napas. 'Tidak.'"
"Namun tak ada jawaban. Sang Panglima tersedak darahnya sendiri, kemudian terkulai tak bernyawa. Kaniya menyentak tombaknya dan menatap tubuh itu. Sang Penyihir hanya berdiri, bergeming di sisinya.
"'Kamu ...' akhirnya Kaniya berhasil mengatakan, menyeka darah dari luka di pipi. Luka yang akan meninggalkan carut, dia tahu. 'Kamu mengatakan yang sebenarnya. Tapi kenapa dia melakukan ini?'"
"'Tidak ada yang tahu kejahatan apa yang mengintai di hati para pria,' kata penyihir itu, 'atau seorang wanita.'"
"Penyihir mengamati luka di pipi Kaniya. 'Aku bisa menyembuhkannya tanpa membekas,' katanya, 'jika kamu mau.'"
"'Tidak,' jawab Kaniya. 'Aku akan menyimpan bekas luka ini untuk kenang-kenangan.'"
"Penyihir memandang gadis muda itu. 'Sebagai pengingat?'"
"'Saat kami berlatih untuk menjadi pejuang, kami dilatih dengan darah panas dan baja dingin. Kami diajarkan untuk tidak terlalu bergantung pada pedang, tombak, atau perisai. Kami diajari untuk menjadi senjata. Dan kami tidak lari, tidak berhenti, sampai pertarungan dimenangkan. Ketika tetes darah pertama menitik, beiarkan mengalir hingga akhir. Aku tak menyimpan luka untuk mengingatkanku. Aku hanya menjadikannya sebagai janji. Aku akan menghabisi siapa pun yang memulai pengkhianatan ini.'"
"Penyihir itu tidak berbicara sepatah kata pun, hanya mengangguk dan mulai berjalan. Kaniya tidak mengajukan pertanyaan, dia tahu ke mana mereka pergi dan mengikuti. Dia tidak menyeka tombaknya, tidak perlu. Satu orang lagi akan mati oleh pedangnya."
"Mereka sampai di istana larut malam," kata wanita tua itu sambil menatap ke enam mata yang menatap balik padanya, "penyihir itu bekerja dengan cepat. Dengan satu sentuhan, dia melumpuhkan penjaga istana dengan api biru dari tangannya. Mereka berpisah. Penyihir ke tempat tidur raja yang sakit. Kaniya ke kamarnya tempat ibunya tidur."
"Beberapa saat kemudian, Kaniya bertemu penyihir itu pada tempat yang disepakati. Sebuah kalung dengan berlian hitam di satu tangan, tombak berdarah di tangan lainnya. Sebelum Kaniya memberikan kalung itu kepada penyihir, ragu-ragu dia bertanya, 'Tetapi jika kamu bisa menyembuhkan raja,' dia berkata, 'mengapa kamu membawa kita sampai ke Hutan Nirmala?'
Penyihir itu tersenyum. Namun bukan senyum bahagia, bukan pula senyum menghina, tetapi senyum yang menyiratkan kesedihan. 'Aku ingin melihat sesuatu,' katanya. "Aku ingin melihat seberapa jauh dia akan melangkah."
"Kaniya mengangguk dan menyerahkan kalung itu kepada penyihir, yang menatap kalung itu sejenak. Kemudian dia memakainya dan bunga api biru menyala mengitari sekeliling tubuhnya."
"Kaniya menahan nafas. 'Kami punya penyihir di istana dan tlatah kerajaan, tapi tidak seperti ini. Tidak yang begitu ... murka.'"
"Di bibir penyihir tersungging senyum. Kali ini, ada sekelumit kejujuran di dalam senyumnya. 'Aku punya banyak waktu untuk berlatih,' katanya sambil menjentikkan jari. Entah dari mana, muncul kucing bermanja di kakinya. Hewan itu memandang Kaniya dengan tatapan aneh."
"'Selamat tinggal, Kaniya,' ujar penyihir itu saat dia berbalik dan berjalan menembus gelap malam."
"'Selamat jalan,' kata Kaniya membiarkan Sang penyihir, penyelamat tanah mereka, pergi."
"Keesokan paginya, rakyat Galuh bangun untuk mendapatkan seorang raja yang sehat, dua punggawa istana menghilang, kalung dicuri, dan seorang ratu yang tewas mengenaskan."
Wanita tua itu melemparkan ranting ke unggun, menatap nyala api menjilat kayu.
"Apakah Kaniya masih hidup?" Nyonyon bertanya dengan jari telunjuk di dalam mulut.
Perempuan tua itu tersenyum mendengar pertanyaannya, menyentuh bekas luka di pipinya. "Kadang-kadang," jawabnya sambil tersenyum diterangi nyala api.
"Hanya kadang-kadang," suaranya menggema. "Sekarang, anak-anak, sudah waktunya kalian pulang. Ayo, aku akan mengantarmu ke gerbang."
BERSAMBUNG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI