Di lapangan sekolah tampak para murid berolahraga. Mereka berseragam olahraga. Dua guru olahraga, teman saya seprofesi yang masih muda-muda, membersamai mereka.
Murid-murid melakukan pemanasan aktivitas fisik. Dipimpin oleh salah seorang murid, yang ditunjuk oleh guru. Gerakan untuk pemanasan yang sederhana dilakukan bersama-sama.
Saya melihat mereka melakukan gerakan kepala. Menoleh ke kanan ke kiri. Menggerakkan kepala menunduk dan mendongak. Merebahkan kepala ke kiri dan ke kanan.
Lalu, disusul gerakan pada tangan dan dilanjutkan hingga gerakan kaki. Semua dilakukan berdasarkan hitungan di mulut. Satu, dua, tiga, empat, hingga hitungan delapan menjadi penanda gerakan. Semua murid melakukan gerakan sesuai dengan gerakan temannya yang memimpin.
Setiap pola gerakan dilakukan 2 x 8 hitungan. Hanya, tampak belum semua murid, yang notabene anak, melakukan gerakan serempak mengikuti hitungan yang terdengar dari tempat duduk saya .
Begitulah anak. Ada yang tertib mengikuti hitungan, ada yang geraknya terlambat ketimbang hitungannya. Ada yang lebih cepat. Memang, sekali lagi, akhirnya gerakan tampak kurang serempak alias agak semrawut.
Beberapa waktu terlihat salah seorang teman guru olahraga memberi contoh gerakan. Agar, gerakan yang dilakukan murid benar. Selain, seperti sudah disebut di atas, agar murid melakukan gerakan secara serempak.
Tentu tak tampak indah kalau murid satu dengan yang lain tak serempak gerakannya. Sebagian besar murid sudah melakukan gerakan serempak, tapi terlihat satu-dua murid melakukan gerakan berbeda, akan tampak buruk.
Benar ungkapan bahwa "karena setitik nila, rusak susu sebelanga". Yang, artinya hanya karena keburukan yang sedikit, semuanya menjadi buruk.
Dalam konteks murid berolahraga pada saat melakukan gerakan pemanasan, seperti yang dimaksud di atas, kalau ada satu murid (saja) melakukan gerakan berbeda dengan gerakan murid yang lain, pasti tampak buruk.