"Mereka sampai di istana larut malam," kata wanita tua itu sambil menatap ke enam mata yang menatap balik padanya, "penyihir itu bekerja dengan cepat. Dengan satu sentuhan, dia melumpuhkan penjaga istana dengan api biru dari tangannya. Mereka berpisah. Penyihir ke tempat tidur raja yang sakit. Kaniya ke kamarnya tempat ibunya tidur."
"Beberapa saat kemudian, Kaniya bertemu penyihir itu pada tempat yang disepakati. Sebuah kalung dengan berlian hitam di satu tangan, tombak berdarah di tangan lainnya. Sebelum Kaniya memberikan kalung itu kepada penyihir, ragu-ragu dia bertanya, 'Tetapi jika kamu bisa menyembuhkan raja,' dia berkata, 'mengapa kamu membawa kita sampai ke Hutan Nirmala?'
Penyihir itu tersenyum. Namun bukan senyum bahagia, bukan pula senyum menghina, tetapi senyum yang menyiratkan kesedihan. 'Aku ingin melihat sesuatu,' katanya. "Aku ingin melihat seberapa jauh dia akan melangkah."
"Kaniya mengangguk dan menyerahkan kalung itu kepada penyihir, yang menatap kalung itu sejenak. Kemudian dia memakainya dan bunga api biru menyala mengitari sekeliling tubuhnya."
"Kaniya menahan nafas. 'Kami punya penyihir di istana dan tlatah kerajaan, tapi tidak seperti ini. Tidak yang begitu ... murka.'"
"Di bibir penyihir tersungging senyum. Kali ini, ada sekelumit kejujuran di dalam senyumnya. 'Aku punya banyak waktu untuk berlatih,' katanya sambil menjentikkan jari. Entah dari mana, muncul kucing bermanja di kakinya. Hewan itu memandang Kaniya dengan tatapan aneh."
"'Selamat tinggal, Kaniya,' ujar penyihir itu saat dia berbalik dan berjalan menembus gelap malam."
"'Selamat jalan,' kata Kaniya membiarkan Sang penyihir, penyelamat tanah mereka, pergi."
"Keesokan paginya, rakyat Galuh bangun untuk mendapatkan seorang raja yang sehat, dua punggawa istana menghilang, kalung dicuri, dan seorang ratu yang tewas mengenaskan."
Wanita tua itu melemparkan ranting ke unggun, menatap nyala api menjilat kayu.
"Apakah Kaniya masih hidup?" Nyonyon bertanya dengan jari telunjuk di dalam mulut.