Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rusunawa (Bab 32)

4 Oktober 2022   13:00 Diperbarui: 4 Oktober 2022   13:00 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Rano turun dari bus Trans Jakarta di halte tak jauh dari rusunawa. Bak penampungan yang terletak di seberangnya penuh orang-orang yang mengambil air. Beberapa orang dewasa menatapnya dan dia mengangguk sambil tersenyum.

Rano memasukkan uang kembalian dari kondektur ke dompet dan kemudian mengembalikan dompetnya ke saku celana belakang.

Kembali menoleh ke kelompok orang di bak penampungan, dia kembali tersenyum pada seorang wanita yang masih menatapnya dari tadi.

Rano berjalan memasuki kompleks rusunawa menuju lokasi bangunan unitnya. Di mana-mana riuh. Saat itu hari menjelang sore dan matahari kembali bersinar cerah setelah hujan sebentar. Beberapa anak bermain dengan bayangan mereka di tanah.

Seorang anak kecil yang hanya mengenakan celana dalam dengan warna yang tak lagi diketahui asalnya, terkekeh saat melihat bayangannya di lantai. Dia berlari dan bayangan mengikutinya. Saat terjatuh bocah itu terkekeh pelan. Rano membungkuk dan membantunya bangkit berdiri.

"Bersihkan dirimu," kata Rano.

Bocah itu menepuk-nepuk pantatnya dan Rano melihat sekeliling, menyadari beberapa wanita sedang memperhatikannya dengan cara yang tak biasa. Mereka saling berbisik dan menunjuk ke arahnya.

Mungkin mereka membicarakan tentang keberhasilanku masuk UI, pikirnya, dan terus berjalan pulang.

Sesampainya di bangunan tempat unitnya berada, dia melihat seekor burung gagak bertengger di tembok pendek di sisi pintu masuk, menatapnya. Rano berhenti dan mengulurkan tangannya ke arah burung itu, tapi burung itu mengepakkan sayapnya dan dengan cepat terbang menjauh.

Rano tersenyum sendiri dan masuk ke dalam bangunan rusunawa. Dia melihat dua orang perempuan berdiri di depan pintu masuk unitnya. Yang satu meletakkan tangannya di atas kepalanya, sementara yang lain menyandarkan ke dinidng dengan kaki meregang. Mereka sedang berbicara dengan seseorang di dalam. Dia mendekat dan menyapa mereka dan masuk.

Beberapa perempuan duduk di atas tikar panjang sementara wajah mereka tampak tegang. Dia menyapa mereka dan mereka menatapnya dengan wajah yang tak terlalu ceria saat membalas sapaannya.

Mencoba untuk mengatasi kegugupannya, Rano masuk ke dalam kamar. Suti duduk di lantai sambil memeluk erat kaki Mama. Dia berbalik perlahan karena merasakan kedatangan Rano. Dia ingin berbicara tetapi tak mampu berkata-kata. Matanya merah sembap. Dua orang perempuan mengapit Mama. Yang satu adalah istri satu-satunya saudara laki-laki Papa dan yang lainnya adalah teman Mama.

Rano menjatuhkan amplop yang ada di tangannya ke lantai sehingga isinya menyebar berserak ke mana-mana.

"Ada apa? Apa yang terjadi?"

Teman mamanya segera berdiri dan memegang erat Rano. "Tolong jangan menangis. Kamu laki-laki. Yang perempuan sudah menangis dari tadi. Kamu perlu menghibur mereka. Tidak apa-apa."

Rano berusaha keras untuk tidak menangis tetapi air mata tetap menggenang di pelupuk matanya. Tangannya menutupi mulutnya. Dia berusaha untuk tidak berteriak meski hatinya sangat pedih. Dia menatap Mama yang makin membuat air matanya mengucur deras. Rambut Mama kusut masai. Mama sudah berhenti menangis, hanya menatap semua orang dengan tatapan kosong.

Adik Papa memandikan jenazah Papa dan mereka merencanakan penguburannya di kampung Nenek dari Papa. Ketika saat penguburan tiba, mereka berangkat ke kampung Nenek di Sumedang untuk mengatur pemakaman.

Kakek dari Papa suku Jawa, tetapi Nenek berasal dari Sumedang. Mama dan anak-anaknya ditegur mengapa tidak pernah mudik ke kampung selama ini. Terakhir kali mereka berkunjung Rano baru berusia sembilan tahun.

Mama mewakili mendiang suami dan anak-anaknya, berkata "Maafkan kami," dia menyapa orang-orang perempuan keluarga papanya. "Karena keadaan menjadi buruk bagi kami, untuk mudik hampir tidak mungkin, itu sebabnya," katanya dalam bahasa Sunda.

Suti kagum dengan cara Mama berbicara bahasa Sunda. Dia belum pernah mendengar Mama berbicara dengan bahasa selain bahasa Indonesia, hanya Papa yang berbicara bahasa Jawa dan Sunda kepada penghuni rusunawa.

Setelah upacara pemakaman selesai, mereka kembali ke Jakarta untuk melanjutkan hidup.

Semua orang mencoba menahan mereka dan bersikeras agar Mama membesarkan anak-anak di desa karena 'sandang pangan terjamin'.

Setelah berhasil mengelak berbagai bujukan, bahkan 'ancaman', Mama memenangkannya dengan alasan Rano sudah kuliah.

"Siapa yang akan menanggung biayanya?" tanya salah satu perempuan sepupu Papa.

Jawaban Mama, "Aku yang akan menanggungnya. Rano kuliah di universitas negeri, insya Allah aku mampu membayar uang kuliahnya."

Mereka semua mengangguk setuju dan berjanji untuk mendukungnya.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun