Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lubang di Jantung dan Hatiku

2 Agustus 2022   21:24 Diperbarui: 2 Agustus 2022   21:37 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata dokter, ada lubang di jantung dan hatiku. 

Aku bilang padanya bahwa aku sudah tahu. Aku bilang padanya bahwa kamulah yang menggalinya di sana.

Dia duduk di hadapanku, si dokter. Pria tanpa kumis dan brewok bersih tercukur. Matanya menatap hangat, selalu lembab setiap kali berkedip. Matanya, mirip seperti milikmu.

Dia menatapku dengan kerut di dahinya tanda khawatir. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi berubah pikiran sebelum kata-kata itu terucap. Aku membaca formulirku untuk kedua kalinya.

"Sudah menikah berapa lama?" dia bertanya.

"Sepuluh tahun," kataku. Aku tidak ingin mengalihkan pandanganku darinya.

"Ada anak?"

Diam.

"Apakah suami Anda melakukan pelecehan pada Anda, Nyonya?"

Lengang.

"Saya tidak bermaksud ikut campur, saya hanya mencoba memahami apa yang Anda maksud."

Aku berpaling. Aku tidak ingin belas kasihannya.

Dia menunggu beberapa detik, dan ketika aku masih tidak menjawab, dia memberiku catatan tertulis dan salinan print out enchocadiogram-ku dalam amplop putih.

"Obatnya seharusnya meringankan gejalanya untuk saat ini, tetapi pada titik ini, saya khawatir Anda harus dioperasi."

Kata-kata itu keluar dari mulutnya seperti kehangatan yang terbungkus dalam gelembung mengapung di ruangan yang dingin. Dan ketika mereka menyentuhku, seketika itu juga meletus.

"Dia tidak pernah memukulku," kataku, "tidak sekali pun."

Kalau si dokter tertarik oleh jawabanku yang tiba-tiba, dia tidak menunjukkannya. Dia mendengarkan tanpa reaksi, keheningan yang memupuk kata-kata keluar dari lubang di jantung dan hatiku dan aku membersihkannya, sama seperti aku berdiri di depan cermin pada hari-hari ketika penderitaan memanggilku dengan nama kecil. Hari-hari ketika aku mencengkeram perut dengan paku yang tertanam dalam-dalam, meratapi tujuh janin yang gugur, tak sempat matang, tak pernah menemukan naungan dalam pelukku.

Dokter membiarkan aku pergi ketika aku tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan. Dia membuatku pergi dengan janji untuk mengajakmu saat konsultasi berikutnya.

Tidak. Aku tidak memberitahu dia tentang kebahagiaanmu, tentang rumah keduamu dengan istri dan tiga anak yang bahagia, atau bahwa kamu hanya pulang kepadaku sekali dalam seminggu karena kewajiban yang tidak terucapkan.

Aku pernah menjadi kebahagiaanmu, sampai tidak lagi.

Di luar ruang praktik dokter, aku meremas kertas dan amplop itu, membuangnya ke tempat sampah dan pulang.

***

Berbulan-bulan kemudian, pada malam ketika kamu akan mengetahuinya, kamu akan merasa marah terlebih dahulu, dan kemudian putus asa, karena aku menolak untuk berbicara dengan salah satu dari banyak teman doktermu, atas penolakanku untuk hidup. Kamu akan menelepon, meminta keluarga dan teman, atau siapa pun, meminta mereka untuk memohon kepadaku, berbicara sedikit tentangku.

Kamu akan menolak untuk kembali ke kebahagiaanmu, istrimu yang lain, anak-anakmu, memilih untuk tidak meninggalkanku sendiri. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, sebelum kebahagiaan, seperti air yang menetes ke saringan disesap dari kehidupan kita, kamu akan menyentuhku. Kamu akan menggenggam tanganku dan menangis. Kamu akan meminta maaf untuk semua rasa sakit yang kamu ciptakan untukku.

"Aku tidak ingin belas kasihanmu," aku akan mencoba mengucapkannya. Namun kata-kata itu tidak akan pernah menemukan suara, tersandung berulang-ulang ke dalam lubang yang telah kamu gali di dalam jantung dan hatiku.

Bandung, 2 Agustus 2022

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun