"Saya tidak bermaksud ikut campur, saya hanya mencoba memahami apa yang Anda maksud."
Aku berpaling. Aku tidak ingin belas kasihannya.
Dia menunggu beberapa detik, dan ketika aku masih tidak menjawab, dia memberiku catatan tertulis dan salinan print out enchocadiogram-ku dalam amplop putih.
"Obatnya seharusnya meringankan gejalanya untuk saat ini, tetapi pada titik ini, saya khawatir Anda harus dioperasi."
Kata-kata itu keluar dari mulutnya seperti kehangatan yang terbungkus dalam gelembung mengapung di ruangan yang dingin. Dan ketika mereka menyentuhku, seketika itu juga meletus.
"Dia tidak pernah memukulku," kataku, "tidak sekali pun."
Kalau si dokter tertarik oleh jawabanku yang tiba-tiba, dia tidak menunjukkannya. Dia mendengarkan tanpa reaksi, keheningan yang memupuk kata-kata keluar dari lubang di jantung dan hatiku dan aku membersihkannya, sama seperti aku berdiri di depan cermin pada hari-hari ketika penderitaan memanggilku dengan nama kecil. Hari-hari ketika aku mencengkeram perut dengan paku yang tertanam dalam-dalam, meratapi tujuh janin yang gugur, tak sempat matang, tak pernah menemukan naungan dalam pelukku.
Dokter membiarkan aku pergi ketika aku tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan. Dia membuatku pergi dengan janji untuk mengajakmu saat konsultasi berikutnya.
Tidak. Aku tidak memberitahu dia tentang kebahagiaanmu, tentang rumah keduamu dengan istri dan tiga anak yang bahagia, atau bahwa kamu hanya pulang kepadaku sekali dalam seminggu karena kewajiban yang tidak terucapkan.
Aku pernah menjadi kebahagiaanmu, sampai tidak lagi.
Di luar ruang praktik dokter, aku meremas kertas dan amplop itu, membuangnya ke tempat sampah dan pulang.