Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Prolog)

19 Januari 2022   08:30 Diperbarui: 19 Januari 2022   08:37 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagai kawanan lebah menyerbu kembang yang mekar di awal musim hujan, dengan senjata berkilauan di bawah matahari yang baru muncul segaris telunjuk. Penyerang mengacungkan pedang dan golok di atas kepala, memberi janji kematian dan banjir darah.

Suketi sedang menggandeng tangan bapaknya. Hari itu adalah hari pertama dia akan belajar menenun, seni itu membuatnya terpesona dan untungnya, itulah yang diajarkan oleh bapaknya. Ibunya sering menggoda bahwa dia adalah begitu mirip dari bapak, hanya berbeda sebagai pria dan wanita saja.

Bapaknya telah merencanakan untuk mengajaknya ke sanggar untuk memulai pelatihannya ketika gerombolan pembawa kematian muncul.

Saat bapak menyadari apa yang terjadi, dia berlutut dan mengguncang tubuh Keti dengan sekuat tenaga. "Lari! Cari ibu dan ayumu! Larilah sekencang-kencangnya!"

Bapaknya berteriak dan mengguncang tubuhnya dengan kencang, membuat Keti ketakutan setengah mati. Bapak menunjuk jalan di belakang mereka, ke arah gubuk kecil tempat tinggal mereka. Saat ditinggal tadi, ayunya Sawitri membuat sarapan dengan ibu mereka. Bengong, Keti menatap bapaknya.

"Bapak, aku ... aku tidak---"

Keti tergagap saat Bapaknya berbalik dan berlari ke arah gerombolan penyerang yang tampak bagai batu hitam longsor menimpa desanya.

Pedagang keliling dan rombongan tayub yang melewati desa kecil itu beberapa minggu yang lalu telah membicarakan tentang gerombolan pemberontak dan mengatakan bahwa mereka telah melewati beberapa pemukiman, menjarah dan membakar desa-desa hingga rata dengan tanah dan merah oleh banjir darah.

Ibu Suketi bersikeras bahwa para pengembara itu menceritakan kebohongan. Dia percaya baginda raja tidak akan pernah mengizinkan hal seperti itu di dalam kerajaannya dan meyakinkan anak-anaknya bahwa mereka benar-benar aman. Meskipun demikian, penduduk desa sempat menjadi tegang, sempat menggalakkan ronda penjagaan untuk mengantisipasi datangnya bencana, tetapi segera saja melonggarkan kewaspadaan dan acuh tak acuh ketika tidak ada hal yang tidak biasa terjadi.

Ternyata mereka semua salah dan sekarang seribu prajurit bersenjata sedang menuju desanya.

"Ibu! Yu Sawitri!" Keti berteriak sambil berlari kencang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun