Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Begal Rimba Tulang Bawang (Prolog)

19 Januari 2022   08:30 Diperbarui: 19 Januari 2022   08:37 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desanya dibumihanguskan. Ibu dan ayu (kakak)nya dihabisi di depan matanya.

Suketi terpaksa menjalani kehidupan seorang begal agar dapat mencari pembalasan terhadap orang-orang yang telah menghancurkan keluarganya, sampai suatu ketika jalannya bersinggungan dengan sesama begal sepertinya yang menawarkan pengampunan dari kejahatan yang telah dia lakukan.

Kesepakatan ini, manis di telinga, dengan risiko besar, karena membuatnya terlibat dalam agenda politik melawan Raja yang kejam.

Bersama empat begal lainnya dan seorang dukun, dia mengambil bagian dalam pemberontakan melawan tiran.

Akankah lima begal yang pernah menjadi momok warga berubah menjadi pahlawan yang menyelamatkan kerajaan dari kehancuran?


***

Fajar baru saja menyingsing di langit pagi yang setengah remang. Burung-burung membubung berkicau dan ayam jantan berkokok.

Tanda-tanda kehidupan mulai kembali bersama kehangatan fajar yang baru ketika palu godam pandai besi menempa panas dan landasan, pembuat tembikar bersiul-siul riang membuat kendi periuk dan piring, dan perempuan-perempuan menenun kain atau menumbuk padi di lesung. Anak-anak tertawa, menjerit dan bermain petak umpet dengan riang.

Ibu-ibu muda sambil berdendang menggendong bayi, menyusu di payudara mereka sementara para suami mereka bergegas ke sawah dan kebun untuk melihat apakah para dewa telah memberkati mereka dengan hasil yang melimpah dalam semalam.

Kemudian, tanpa peringatan mereka menyerang. Tanpa suara, bau, atau pertanda yang menunjukkan kedatangan mereka. Tetapi begitu mereka tiba, mereka tak akan pergi sampai setiap rumah habis terbakar dan setiap pria, wanita, dan anak-anak terbunuh.

Bagai kawanan lebah menyerbu kembang yang mekar di awal musim hujan, dengan senjata berkilauan di bawah matahari yang baru muncul segaris telunjuk. Penyerang mengacungkan pedang dan golok di atas kepala, memberi janji kematian dan banjir darah.

Suketi sedang menggandeng tangan bapaknya. Hari itu adalah hari pertama dia akan belajar menenun, seni itu membuatnya terpesona dan untungnya, itulah yang diajarkan oleh bapaknya. Ibunya sering menggoda bahwa dia adalah begitu mirip dari bapak, hanya berbeda sebagai pria dan wanita saja.

Bapaknya telah merencanakan untuk mengajaknya ke sanggar untuk memulai pelatihannya ketika gerombolan pembawa kematian muncul.

Saat bapak menyadari apa yang terjadi, dia berlutut dan mengguncang tubuh Keti dengan sekuat tenaga. "Lari! Cari ibu dan ayumu! Larilah sekencang-kencangnya!"

Bapaknya berteriak dan mengguncang tubuhnya dengan kencang, membuat Keti ketakutan setengah mati. Bapak menunjuk jalan di belakang mereka, ke arah gubuk kecil tempat tinggal mereka. Saat ditinggal tadi, ayunya Sawitri membuat sarapan dengan ibu mereka. Bengong, Keti menatap bapaknya.

"Bapak, aku ... aku tidak---"

Keti tergagap saat Bapaknya berbalik dan berlari ke arah gerombolan penyerang yang tampak bagai batu hitam longsor menimpa desanya.

Pedagang keliling dan rombongan tayub yang melewati desa kecil itu beberapa minggu yang lalu telah membicarakan tentang gerombolan pemberontak dan mengatakan bahwa mereka telah melewati beberapa pemukiman, menjarah dan membakar desa-desa hingga rata dengan tanah dan merah oleh banjir darah.

Ibu Suketi bersikeras bahwa para pengembara itu menceritakan kebohongan. Dia percaya baginda raja tidak akan pernah mengizinkan hal seperti itu di dalam kerajaannya dan meyakinkan anak-anaknya bahwa mereka benar-benar aman. Meskipun demikian, penduduk desa sempat menjadi tegang, sempat menggalakkan ronda penjagaan untuk mengantisipasi datangnya bencana, tetapi segera saja melonggarkan kewaspadaan dan acuh tak acuh ketika tidak ada hal yang tidak biasa terjadi.

Ternyata mereka semua salah dan sekarang seribu prajurit bersenjata sedang menuju desanya.

"Ibu! Yu Sawitri!" Keti berteriak sambil berlari kencang.

Jalanan kacau balau dengan penduduk desa yang melarikan diri dan Keti berjuang menerobos dengan tubuhnya yang kecil. Dia didorong dan didesak di antara kerumunan yang ketakutan sampai dia merasa tidak bisa bernapas.

Udara dipenuhi dengan jeritan tangis ibu-ibu yang mencari anak-anak mereka dan anak-anak yang berteiak memanggil orang tua mereka. Kekisruhan semakin tak terkendali ketika gerombolan pengacau semakin dekat. Keti menepi ke sebuah gubuk dan menaikkan kakinya ke jendela. Meski bertubuh kecil, gadis itu sangat gesit. Dia berhasil memanjat ke atap jerami, lalu berdiri dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia tercengang dan sekaligus kerakutan.

Api berkobar di seluruh penjuru desa. Asap hitam mengepul sampai di kejauhan. Tampak olehnya gelombang kegelapan, yang ketika semakin mendekat menjelma menjadi ratusan manusia berpakaian hitam dengan tombak, pedang dan perisai di tangan. Beberapa dari penyerbu menunggang kuda, sementara yang lain berkeliaran dengan wajah diolesi warna hitam.

Pedang dan tombak berkelebat, tubuh-tubuh terbelah bermandikan darah dan pasukan penyerang tertawa terbahak-bahak dengan riang. Mereka menyibukkan tangan dengan mencengkeram para perempuan dan menekan mereka ke dinding gubuk, menerobos masuk ke rumah dan keluar dengan makanan dan harta benda di tangan, menusukkan pedang ke penduduk desa yang menurut mereka tidak layak untuk dibiarkan hidup.

Bumi banjir darah. Ada tubuh anak-anak yang tidak lebih tua dari Keti mati terinjak-injak, mungkin oleh penyerang atau oleh kaki-kaki penduduk yang tempias melarikan diri.

Keti menyeka air matanya yang tumpah dan memutar kepala mencoba mencari jalur teraman ke gubuknya. Sebuah rencana terbentuk di benaknya, dia mengangguk pada dirinya sendiri dan turun, berlari seperti angin segera begitu kakinya menyentuh tanah.

Dia berlari dengan sekuat tenaga tanpa berhenti atau melirik kanan-kiri. Dari sudut matanya dia bisa melihat Lastri, perempuan muda yang sedang hamil anak pertama, memohon belas kasihan ketika seorang lelaki menodongkan tombak ke perutnya yang bunting bengkak.

Keti merintih dan menekan hasratnya untuk berhenti dan meringkuk di balik semak-semak.

Kakinya terasa bagaikan hendak lepas setiap saat, dadanya terasa berat. Anak panah mendesing melesat melewati telinganya, tetapi dia terus berlari. Tidak ada yang lebih penting dari ibu dan kakak perempuannya. Ayahnya telah berpesan dia harus menemukan mereka.

Gubuknya muncul di ujung jalan. Dia meluncur dan mendorong pintu dengan seluruh kekuatannya hingga terbuka, menabrak ibu dan saudara perempuannya yang dengan panik mengemasi barang-barang mereka.

"Suketi!" Ibunya berteriak dan berlari ke arahnya, merengkuh Keti dengan erat ke dalam pelukannya.

"Ibu!" Kembali air mata Keti bercucuran. Dia balas memeluk ibunya seakan tak ingin melepaskannya.

Dia aman di haribaan ibunya sekarang, tidak ada yang bisa menyakitinya bahkan lelaki yang tampak menakutkan di luar sana.

"Sawitri, bawa adikmu," perintah ibunya sambil berdiri dan melemparkan selimut yang membungkus pakaian ke kakaknya.

Keti didorong ke dalam pelukan kakaknya yang memegang pergelangan tangannya erat-erat dan menariknya menuju pintu. Mata Sawitri melebar ngeri dan rahangnya jatuh ternganga ketika melihat tiga penyerang menuju ke gubuk mereka.

"Mereka disini!" teriaknya. Dia buru-buru mendorong Keti ke bilik orang tua mereka dan menutup pintu kayu.

"Tetap diam dan sembunyi di bawah dipan," kata Sawitri. "Apa yang kamu dengar, jangan bergerak atau bersuara!"

Keti menangis, air mata mengalir di pipinya bagai banjir bandang. Pintu gubuk mereka tiba-tiba didobrak dan terdengar derap langkah menyerbu masuk.

Keti mengintip melalui celah dinding papan, menutup mulutnya dengan tangan sambil menggigit jarinya agar tidak berteriak. Dia menyaksikan ibu dan kakaknya berteriak menjerit, mencakar dan menggigit, berjuang dengan sia-sia melawan lelaki-lelaki yang jelas lebih kuat bertenaga. Ibu dan kakaknya segera ditundukkan saat orang-orang itu meninju wajah mereka dan melemparkan mereka ke seberang ruangan.

"Ayo kita bersenang-senang," salah satu prajurit itu terkekeh sambil menjilat bibir.

Keti menyaksikan para prajurit merobek pakaian ibu dan kakaknya meski sudah menjerit dan berlinang air mata. Dia melihat para prajurit menurunkan celana, merentangkan kaki ibu dan kakaknya yang mengerang kesakitan karena kemudian dihimpit dan ditekan berkali-kali ke lantai tanah.

Dia tidak mengerti apa yang mereka lakukan tetapi dari jeritan ibu dan kakaknya, juga darah yang mengalir di paha Sawistri, yang sedang terjadi di hadapannya sangatlah mengerikan.

Sawitri menoleh, matanya seakan tertuju padanya. Keti memejamkan matanya sendiri karena tak kuasa menahan tatapan berkaca-kaca dan ekspresi kosong itu.

Tak lama kemudian, dia mendengar orang-orang itu mengerang keras dan tertawa-tertawa. Dia membuka matanya untuk melihat mereka tersentak dan menjauh dari ibu dan kakaknya. Perhatian mereka teralihkan oleh suara perintah yang menggelegar di luar gubuk.

Dia melihat ibunya yang terbaring bagai tak bernyawa, seperti mayat hidup di lantai, tidak bergerak atau berkedip. Satu-satunya yang menandakan dia masih hidup adalah dadanya yang naik turun perlahan. Ketika Keti mengira yang terburuk telah berakhir dan berpikir kalimat yang akan diucapkannya untuk menghibur ibu dan Sawitri, para prajurit berbisik-bisik dan melirik tubuh-tubuh perempuan yang teronggok di lantai. Salah satu dari mereka meludah dengan jijik lalu menusukkan pedangnya ke dada perempuan-perempuan itu. Cairan merah mengalir ke lantai. Keti hampir saja menjerit, tapi buru-buru dia menggigit bibirnya sampai berdarah.

Lama dia diam di bilik orang tuanya, bahkan setelah para prajurit pergi. Waktu berhenti untuknya saat dia menatap ngeri ke mayat-mayat tak bernyawa.

Meringkuk di lantai, dia menarik lututnya ke dada dan menangis. Dia menangis sampai air matanya habis mengering dan tenggorokannya sakit. Dia kemudian tertidur karena kelekahan.

Ketika terbangun, matanya sembap dan tenggorokannya kering. Dia membuka pintu bilik dan merangkak keluar, mendatangi mayat yang tergeletak dan mencium dahi ibunya dengan lembut lalu mengambil cincin ibunya dari jari manis. Dia berbalik menghadap kakaknya, memeluknya erat-erat.

Keti mengucapkan selamat tinggal dan mengambil bungkusan yang telah dikemas ibunya sebelum terbunuh.

Membuka pintu, sinar matahari yang menyilaukan membutakannya sejenak. Dia melihat sekeliling. Asap mengepul dari gubuk-gubuk yang hangus. Aroma kematian meracuni hidungnya. Desa mereka yang dulu hidup sekarang menjadi kuburan.

Bingung harus melakukan apa dan harus pergi ke mana, Keti mencari ayahnya, tetapi dia tidak menemukan satu manusia pun yang masih hidup.

Keti terus berjalan dan tak beberapa lama kemudian, tanpa disadarinya dia sudah meninggalkan desa menuju dunia luar yang masih asing baginya.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun