Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 23: Pertemuan Seumur Hidup

19 September 2021   09:09 Diperbarui: 19 September 2021   09:15 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku gelisah. Berbagi ruang dengan sekitar dua puluh orang lain, tetapi aku tahu mereka tidak dapat dibandingkan dengan pengabdian dan penghargaanku terhadap bakatnya. Aku telah melihat semua yang dia lakukan, membaca setiap kata yang dia tulis, menonton setiap wawancara yang diberikan.

Tempatnya tidak terlalu besar untuk menampung banyak orang, tapi cukup memadai, dengan meja yang penuh dengan minuman ringan dan camilan. Aku mengambil sebotol air mineral, tapi aku rasa aku tidak bisa makan keripik atau permen. Duduk di salah satu kursi di dinding dan mencoba berhenti gelisah.

Seorang wanita muda memasuki ruangan dan kerumunan mendadak hening, mengantisipasi kata-katanya. Wanita itu memberi tahu kami bahwa dia akan segera datang, sedikit dia terlambat. Dia tidak akan punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama kami karena dia harus segera tampil di diskusi panel. Aku mengatakan pada diri sendiri itu baik-baik saja. Bahkan untuk berbicara dengannya selama beberapa menit akan menjadi mimpi yang menjadi kenyataan.

Dan kemudian dia di sini, berjabat tangan dan tersenyum. Dia terlihat persis seperti yang kuharapkan. Potongan rambut sempurna, kulit cokelat menawan, dan senyum protagonis sinetron yang memikat.

Dia berjalan berkeliling ke setiap orang dengan cepat, berhenti untuk berbagi beberapa kata, berswafoto atau menandatangani buku. Akhirnya, dia ada di depanku.

Dengan pesona yang terlatih, dia menggenggam tanganku yang berkeringat dan terulur, dan menanyakan namaku. Aku memberitahunya, suaraku kering dan tercekat di tenggorokan. Aku menjelaskan bahwa aku pengagum berat, betapa aku menikmati karyanya, saat dia menandatangani bukuku.

Dan kemudian dia pergi, dibawa pergi ke orang berikutnya.

Aku mencoba untuk terlihat nyaman, tidak kosong dan hampa seperti yang kurasakan, saat dia berjalan melewati sisa ruangan. Dia pergi, berterima kasih kepada seluruh ruangan, meminta kami untuk mendengarnya berbicara di pentas. Aku akan melakukannya, tetapi dengan perasaan kosong yang sama mengisi dadaku sekarang.

Aku masih tertinggal di ruangan ketika yang lain pergi, mencari sebotol air lagi dan harga diriku. Pemikiran bahwa entah bagaimana aku akan melakukan percakapan yang bermakna memudar dengan cepat dan menyakitkan. Aku menyadari mungkin aku mengatakan hal yang sama seperti setiap penggemar lainnya. Aku tidak berbeda atau lebih istimewa dari mereka.

"Agak antiklimaks, bukan?" dia berkata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun