"Kecelakaan itu tidak mengubah apa pun," katanya. "Kamu masih manusia. Kamu adalah yang membuat dirimu menjadi kamu. Kamu tidak ditentukan oleh pandangan masyarakat atau organ tubuh."
Ironi yang menyakitkan ketika kecerdasan buatan memberi tahu cyborg tentang definisi manusia seharusnya membuatku tertawa. Tapi tidak. Aku bahkan tidak ingin tersenyum. Â
Lovelace adalah teman baikku dan dia tidak menginginkan apa pun selain yang terbaik untukku. Kecerdasan Buatan mempunyai batasan pabrik dan diperlakukan sebagai pelayan, disebut dengan angka yang tidak berarti apa-apa selain sebagai data statistik. Aku menolak untuk memperlakukan Lovelace seperti itu.
Dan pada saat yang sama aku tahu bahwa aku tidak lebih baik dari dia.
Sebuah program buatan.
Sebentuk mesin.
Kecelakaan telah memastikan hal itu. Aku bahkan tidak bisa mengingat rasanya meluncur jatuh ke bumi karena gaya gravitasi. Yang kuingat hanyalah rasa sakit dan panas terbakar yang memanggangku seperti asam. Butuh berjam-jam bagi mereka untuk menemukanku. Tetapi mereka mencari seorang manusia, bukan segumpal daging yang kehilangan dua tangan, satu kaki, dan setengah kepala.
Aku tidak menginginkan apa pun selain mati. Namun mereka membawaku kembali. Merupakan keajaiban bahwa aku berhasil melewati berkali-kali prosedur operasi.
Terkadang Tuhan memiliki selera humor yang aneh.
Aku keluar dari kamar mandi dan berjalan ke balkon. Setengah dari tubuhku masih kulit dan daging yang merasakan dinginnya air hujan yang menetes. Gedung-gedung menembus awan stratokumulus tegak angkuh di sekelilingku. Lampu-lampunya bersinar dengan jelas saat mobil terbang melintasi langit malam berkelok-kelok di antara pencakar awan.
Jauh di bawah, aku melihat orang-orang bergegas di trotoar yang basah. Memperkuat antena daya audio internal, aku bisa menangkap percakapan mereka.