Rena adalah seorang penyanyi dangdut. Aku bertemu dengannya pada malam sesudah bapak dimakamkan dan tahu aku harus mendapatkannya. Dia jatuh cinta padaku dalam satu jam, katanya.
Aku selalu bertanya-tanya apakah butuh waktu satu jam penuh atau apakah aku telah memikatnya dengan beberapa menit yang tersisa. Itulah penyair dalam diriku. Satu jam terlalu ... sempurna.
Kami miskin tapi berbakat. Orang-orang suka, terutama potensi tragedi di sekitar kami. Cerita seperti kami tidak pernah berakhir dengan baik.
Setiap malam dia bernyanyi di sebuah pub. Â Aku mengunjungi pub itu karena sedang berduka, bukan karena memang berniat untuk berada di situ.
Aku mengenakan satu-satunya tuksedo yang kupakai untuk ke pemakaman, dengan sepatu berdebu tanah kuburan, dan Pendaur di pergelangan tangan kiri.
Suara nyanyian Rena berasal dari alam semesta yang tak terjangkau, membuat jiwamu membara.
Sendirian di atas panggung, pipinya merona dan mata setengah terpejam, bermandikan cahaya keemasan dari lampu kristal yang menggantung di atasnya. Dia bergoyang-goyang sambil  bernyanyi, karena jika dia tidak bergoyang sambil bernyanyi, musik akan memangsanya, katanya.
Ketika dia mencapai nada tertinggi, mata yang cokelat terbuka, seperti  terlahir kembali dari surga, dan menemukan mataku. Dia selalu membuat penonton menangis dan meleleh menjadi debu.
Bukan secara tersurat, tentu saja. Karena aku seorang penyair.
Tidak mungkin terlalu berhati-hati dalam dongeng.
***