Mohon tunggu...
Auliya Rahma Zain
Auliya Rahma Zain Mohon Tunggu... Content Writer

Saya adalah mahasiswi dari Universitas Brawijaya dengan fokus dan minat yang mendalam dalam bidang kepenulisan. Sepanjang perjalanan akademik saya, saya aktif menulis berbagai artikel yang telah dipublikasikan di sejumlah situs, yang mencakup topik-topik mulai dari sastra, pendidikan, hingga isu-isu sosial. Saya berkomitmen untuk terus mengasah keterampilan menulis saya dengan mengikuti berbagai kegiatan dan proyek yang relevan, serta berkontribusi dalam pengembangan dunia literasi. Dengan tekad untuk memperdalam pengetahuan dan pengalaman di bidang ini, saya berambisi untuk menginspirasi dan memberikan dampak positif melalui karya-karya yang saya hasilkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Sendang Malam

21 September 2025   12:32 Diperbarui: 21 September 2025   12:32 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di lereng alas yang separuh sunyi, di mana pohon jati berdiri kurus meranggas menantang langit, dan angin sore membawa bau tanah basah bercampur daun-daun gugur, hiduplah seorang dara desa bernama Sekar Arum. Kulitnya kuning langsat, berkilau oleh cahaya senja, dan tiap hari ia beringsut melangkah di jalan tanah sambil menjinjing kendi, kebaya sederhana menempel pada tubuh rampingnya, sanggul hitam legam tegak laksana puncak gunung yang gagah. Ia tak pernah mengenal bedak atau wangi-wangian, namun parasnya adalah suluh yang menyulut mata para pemuda kampung; kembang desa, begitu orang-orang menyebutnya kembang yang tumbuh tanpa pagar, hanya dijaga doa ibu dan desah angin sawah.

Suatu ketika, di serambi loji besar yang bertiang tinggi dan berdaun pintu tebal, seorang muda Belanda kerap duduk menulis di buku kulit cokelatnya. Namanya Adrian van der Voorn, tubuhnya jangkung, hidungnya mancung seperti pahatan, mata birunya laksana danau dingin di negeri jauh, rambut pirangnya bagai bulir padi yang belum dituai. Ia anak dari seorang opsir yang menanam kuku kekuasaan di tanah Jawa, sementara ibunya peranakan bangsawan yang keras menjaga garis darah. Adrian tak pernah lepas dari kemeja putih yang selalu tercium bau sabun asing, dan di pundaknya menggantung tas selempang, penuh kertas-kertas catatan, coretan rindu yang tak pernah ia akui di hadapan siapa pun.
Hari itu sore di sendang. Sekar Arum jongkok di tepi air, kendi tanah liat ia bilas pelan, tangannya cekatan seperti sudah hafal urutannya. Dari jalan setapak, suara sepatu berat terdengar, bukan sandal jepit atau telapak telanjang orang desa. Adrian muncul dengan wajahnya yang pucat, kemeja putihnya menyala kontras dengan debu merah jalanan. Ia berhenti, tidak berani mendekat terlalu dekat, hanya menonton punggung Sekar yang sibuk. Gadis itu menoleh sebentar, cukup sekilas, lalu buru-buru kembali menunduk. Jantung Adrian berdegup aneh, seperti ada sesuatu yang menamparnya bukan dengan tangan, tapi dengan pandangan mata yang singkat itu.
Adrian berdiri kikuk di pinggir jalan tanah, matanya tak lepas dari gadis desa itu. Sendang beriak kecil, seolah ikut mendengarkan rahasia yang belum terucap. Sekar Arum bangkit, kendi sudah penuh, lalu ia letakkan sebentar di tanah. "Tuan nderek dalem?" begitu suaranya lirih, setengah ragu, setengah mengejek sopan. Adrian tak segera menjawab; lidahnya kelu, hanya senyum yang lahir, kaku tapi tulus. Dari balik semak bambu, anak-anak desa mencuri pandang, berbisik-bisik geli, melihat kembang desa bicara dengan anak loji. Udara seakan berubah, tipis dan tegang; dunia loji dan dunia gubug saling beradu tatap tanpa perlu banyak kata.
Malamnya, kabar itu cepat menjalar seperti api menjilat alang-alang kering. Orang desa membicarakan: "Sekar ketemu anak loji di sendang." Ada yang tertawa, ada pula yang mengerling khawatir. Sementara di dalam loji, meja panjang penuh cahaya lampu minyak, keluarga Van der Voorn tengah makan malam. Sang ayah, dengan seragam tentara masih melekat, mengetuk sendok ke piring. "Adrian," suaranya berat, "aku dengar kau berkeliaran dekat orang kampung." Ibunya mengerling tajam, seakan nama "pribumi" itu tak pantas disandingkan dengan putra sulung mereka. Adrian menunduk, jari-jarinya mengetuk pelan tas selempang yang tergantung di kursi. Ia ingin berkata tentang mata Sekar Arum, tentang senyum kecil di tepi sendang, tapi ia tahu lidahnya akan dibungkam sebelum kalimat pertama lahir.
Di ruang tamu loji yang harum oleh bunga impor dari Batavia, datanglah seorang nona Belanda bernama Cornelia van Houten. Rambut pirangnya jatuh seperti benang emas, gaunnya licin berkilau, dan sepasang sepatu kaca berkilat tiap ia melangkah. Cornelia sudah akrab dengan keluarga Van der Voorn; senyumnya mudah merekah, suaranya manis, dan ia pandai membuat sang adik perempuan Adrian tertawa hingga lupa waktu. "Adrian," sapa Cornelia, sambil meraih kursi di dekatnya, "kau masih menulis itu?" Matanya menelusuri buku kulit yang selalu dibawa pemuda itu. Adrian hanya mengangguk singkat, senyumnya tipis. Namun di balik kepala yang menunduk, pikirannya tak lepas dari sendang, dari kendi tanah liat, dari tatap sekilas seorang gadis desa bernama Sekar Arum.
Cornelia makin sering datang ke loji. Di serambi, ia duduk santai sambil menekuk senyum, membuat adik perempuan Adrian terkekeh tanpa henti. Rambut pirangnya menyala kena cahaya matahari sore, gaunnya gemerisik tiap ia bergerak. Tapi sesungguhnya matanya hanya mencari satu orang: Adrian. Sore itu ia mendekat, bersandar ringan di kursi. "Adrian," ujarnya, "ayahku selalu bilang, seorang pria harus memilih yang setara. Kalau tidak, ia akan terseret rendah." Kalimatnya tenang, tapi mengandung paku. Adrian menoleh sebentar, lalu menunduk. Tas selempang di pangkuannya ia genggam, seolah di dalamnya ada rahasia yang tak boleh jatuh ke lantai. Dalam kepalanya, bukan wajah Cornelia yang muncul, melainkan senyum Sekar Arum di tepi sendang.
Malam turun di desa. Lampu minyak berkelip di balik jendela bambu, suara gamelan samar dari kejauhan bercampur dengan gonggongan anjing. Di jalan setapak, Adrian melangkah pelan, kemejanya tersapu embun rumput. Ia tahu tak boleh ada yang melihat, tapi langkahnya terus menuju rumah Sekar Arum. Gadis itu duduk di beranda, menenun kain, sanggulnya tampak redup disinari lampu tempel. Saat Adrian muncul, Sekar tertegun, matanya membesar, lalu buru-buru menunduk.
"Kenapa tuan datang malam-malam?" tanyanya, suaranya rendah tapi bergetar.
Adrian tidak segera menjawab. Ia hanya berdiri beberapa langkah dari pagar bambu, menatap wajah Sekar seperti menatap sesuatu yang ia cari bertahun-tahun. "Aku ingin melihatmu," ucapnya akhirnya, lirih tapi jelas.
Sekar Arum terdiam, jemarinya yang tadi sibuk menenun kini terkulai di pangkuan. Hatinya berdegup, antara takut dan sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Adrian melangkah satu tapak mendekat, hingga cahaya lampu minyak menerpa wajahnya. "Sekar," katanya pelan, "aku tidak peduli siapa kau, tidak peduli apa kata orang. Di mataku, kau lebih berharga dari semua pesta dansa yang mereka tawarkan."
Sekar menggeleng, lirih, "Tuan jangan bicara begitu. Kata-kata itu bisa jadi celaka. Aku ini hanya anak desa, hidupku cukup di sawah dan sumur. Tuan punya dunia sendiri, jangan biarkan kakimu terperosok di lumpurku."
Adrian tersenyum tipis, meski suaranya getir, "Biar lumpur sekalipun, aku ingin menapakinya bersamamu."
Belum sempat Sekar membalas, suara langkah sandal terdengar dari kejauhan. Obor berayun, makin dekat. Sekar panik, segera menggenggam kendi kosong dan berdiri. "Cepat pergi, Tuan. Kalau orang kampung melihat, kabar ini bisa lebih berbahaya daripada racun."
Adrian menatapnya sebentar lagi, seolah ingin menancapkan wajah itu dalam-dalam di ingatannya. Lalu ia berbalik, masuk ke gelap malam, meninggalkan jejak samar di tanah berembun.
Keesokan harinya, kabar beredar cepat. Dari mulut ke mulut, dari warung kopi hingga sawah basah, orang-orang bergunjing: Sekar Arum ditemui anak loji malam-malam. Ada yang mencibir, ada yang iri, ada pula yang menatap Sekar dengan pandangan setengah sinis. Ibu-ibu di sumur berbisik sambil menahan tawa, sementara pemuda desa menggeretakkan gigi, merasa kalah sebelum berperang.
Di loji, kabar itu pun sampai. Seorang babu yang tak bisa menahan lidah melapor pada nyonya rumah. Meja makan pun kembali jadi panggung amarah. Sang ayah menggebrak piring, sendok beterbangan. "Memalukan! Anak seorang opsir jatuh hati pada pribumi! Kau kira darah Eropa ini untuk dicampur dengan lumpur sawah?" suaranya menggelegar. Ibunya menunduk, namun matanya menusuk tajam ke arah Adrian.
Adrian terdiam, wajahnya memucat, tapi di dadanya justru api semakin menyala. Ia tidak menjawab sepatah kata pun. Hanya genggaman tangannya pada tas selempang makin keras, seakan di balik buku-buku catatannya tersimpan keberanian yang masih menunggu saatnya meledak.
Di sore yang lain, ketika Cornelia kembali berkunjung, suasana loji riuh oleh suara tawa. Adik perempuan Adrian, si kecil yang manja namun lidahnya tajam, menggandeng tangan Cornelia seakan ia kakak sendiri. "Kak Cornelia cantik sekali," ujarnya sambil terkikik, "jauh lebih pantas untuk Mas Adrian daripada gadis kampung itu. Kulitnya kuning, tangannya kasar, bajunya cuma kebaya murah. Apa bisa dibanding dengan gaun kaca Kak Cornelia?"
Cornelia hanya menutup mulutnya dengan kipas, berpura-pura tersipu, tetapi jelas ia menikmati tiap kata yang meluncur. Ibunya mengangguk pelan, setuju dalam diam. Adrian yang duduk di sudut ruangan menggertakkan gigi. Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari pedang, tapi ia memilih bungkam, karena tahu satu bantahan saja bisa jadi bara besar.
Namun dalam hati, ia bersumpah: dunia boleh menolak, keluarganya boleh mencibir, tapi nama Sekar Arum tidak akan ia lepaskan dari lembar hidupnya.
Malam itu Adrian nekat lagi menyelinap ke desa. Langkahnya terburu, napasnya pendek. Sekar Arum menunggu di bawah pohon randu, wajahnya pucat diterangi bulan. "Tuan, kenapa datang lagi? Kalau ketahuan, aku bisa celaka," katanya dengan suara nyaris berbisik.
Belum sempat Adrian menjawab, suara lain terdengar berat, kasar. Dari balik semak, muncullah sosok yang tak asing: supir keluarga Van der Voorn, orang Belanda bawahan yang sering jadi tangan kotor sang opsir. Matanya merah oleh arak, jalannya gontai, tapi senyumannya bengis.
"Ah, jadi benar," katanya dalam bahasa Melayu patah-patah, "anak loji main cinta dengan kembang desa. Kalau tuanmu tahu, bisa habis kalian berdua." Ia meludah ke tanah, lalu menatap Sekar dengan sorot yang membuat darah beku.
Sekar mundur selangkah, kendi di tangannya hampir terlepas. Adrian segera berdiri di depannya, tubuhnya jadi perisai. "Pergi," ucapnya tajam. Tapi supir itu justru tertawa, keras dan menghina. "Aku bisa diam, tapi ada bayarannya."
Udara malam mendadak sesak. Suara jangkrik pun terasa berhenti. Sekar menggenggam erat ujung kebayanya, sementara Adrian merasakan untuk pertama kalinya bahwa cintanya bukan hanya ditolak keluarga, tapi juga terancam oleh bahaya yang lebih kejam, bahaya yang bisa merenggut Sekar kapan saja.
Adrian menatap tajam. "Bayaran apa?" suaranya bergetar menahan marah.
Supir itu menyeringai, matanya menyapu tubuh Sekar tanpa malu. "Bayar dengan dia. Kalau tidak, besok pagi kabar ini sampai ke telinga bapakmu. Kau tahu akibatnya."
Sekar langsung pucat, mundur makin rapat ke belakang Adrian. "Tuan, jangan dengarkan dia," suaranya lirih.
Adrian mengepalkan tinju, lalu menghantam wajah supir itu. Pukulan mendarat, tapi lawannya lebih besar, lebih kuat. Sekali dorong saja, tubuh Adrian terhempas ke tanah. Sekar menjerit, kendi jatuh pecah berderai.
Supir itu maju, meraih Sekar dengan kasar. Gadis itu meronta, menangis, "Lepas! Jangan sentuh aku!" Sang supir tertawa pendek, menarik paksa lengannya, lalu mendekatkan wajahnya. Ia mencium pipi dan leher Sekar dengan liar, sementara tangannya meremas kebayanya hingga sobek di bahu.
Adrian berusaha bangkit, tapi tubuhnya lunglai, kepalanya berdenyut hebat. Ia hanya bisa melihat gadis yang dicintainya diperlakukan semena-mena, sementara tangannya meraba tanah kosong, mencari pegangan.
Sekar menjerit, air matanya bercucuran. "Tuan... tolong!"
Dan malam itu, di bawah cahaya bulan, cinta yang seharusnya jadi jalan bahagia berubah jadi mimpi buruk: Adrian tersungkur tak berdaya, Sekar direnggut martabatnya oleh tangan kotor yang mengancam diamnya keluarga loji.
Malam itu berakhir dengan hening yang membunuh. Adrian tersungkur di tanah, tak mampu menolong. Sekar tergeletak dengan kebaya robek dan wajah penuh air mata. Supir itu pergi begitu saja, tertawa pendek, meninggalkan luka yang takkan pernah sembuh.
Sejak saat itu, cinta Adrian dan Sekar tamat, bahkan sebelum sempat hidup. Yang tersisa hanyalah aib, air mata, dan ingatan pahit di bawah cahaya bulan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun