Raka bercerita tentang masa pasca proyek, tentang kota-kota yang dilewatinya, tentang keputusan-keputusan yang tidak pernah benar-benar mudah.
Ia menyebut Temanggung, menyebut kopi, menyebut rumah yang kini menjadi arsip hidup---bukan sekadar tempat tinggal.
Suci mendengar. Kadang tersenyum, kadang menunduk.
Ia pun bercerita: tentang menjadi janda di usia muda, tentang birokrasi yang kadang membuatnya kehilangan arah, tentang kehilangan tanpa prosesi, tentang memo tubuh yang tidak pernah sempat ia tuliskan.
"Dulu aku ingin menulis... tapi tak pernah punya ruang cukup tenang," ujarnya.
Raka menimpali, "Kadang ruang tenang justru muncul saat kita berhenti mencari."
Percakapan itu seperti aliran teh tubruk yang tak pernah terlalu panas, tapi juga tidak dingin.
Tidak ada kata 'maaf' yang berulang, tidak ada 'kenapa' yang dipaksakan.
Yang hadir hanyalah tubuh-tubuh memo yang akhirnya saling duduk, bukan saling menuntut.
Suci merapikan map dan mengirimkan satu pesan pendek ke ponselnya---matanya menatap layar, tapi jari-jarinya bergerak ringan, seolah tidak sedang terburu.
"Aku sudah kirim ke staf. Agenda siang ini bisa mereka teruskan," katanya tanpa nada berat.