Kost lantai dua tempatnya dulu berpikir cukup lapang: meja kayu besar, lampu baca, rak tipis berisi laporan, dan Toshiba Satellite yang nyaris tidak pernah mati.
Motorola AMPSÂ kadang berdering, suara serak dari pengecoran, atau sekadar memo teknis yang harus diselesaikan malam itu. Tapi memo tubuh Raka lebih banyak berbicara dalam diam.
"Lalu... apa yang membawamu kembali ke kota kecil ini?" ucap Suci, tidak bertanya, tapi membuka pintu memo.
Raka menyesap kopinya, pelan. Jemarinya perlahan menggenggam tangan Suci, tidak erat, tapi cukup untuk mengatakan bahwa ia belum selesai.
"Dulu kau pernah bilang... berat meninggalkan kota kecil seperti ini. Pasti akan ngangenin, kan? Dan mungkin ini bukan kebetulan."
Suci menatap Raka sambil mengangkat alis pelan. "Ah, masih saja suka gombal..." ujarnya, tidak marah, tidak tersipu---hanya seperti ingin menyeimbangkan atmosfir yang mulai hangat.
Raka tak membalas dengan kata, hanya senyum samar yang tidak mencoba meyakinkan apa-apa.
Ia membenarkan duduknya, lalu berkata pelan, "Gombal mungkin... tapi aku tak sedang bermain-main."
Suci menghela napas. "Waktu memang mengajari kita banyak hal. Tapi kadang... orang tidak benar-benar berubah, hanya pindah tempat menyimpan rasa."
Mereka tertawa kecil. Tidak keras, hanya cukup untuk mengusir dingin yang sejak tadi bergantung di langit-langit restoran.
Lalu percakapan bergulir: tentang pekerjaan, tentang keluarga yang perlahan mengecil, tentang hari-hari di Cilacap yang tidak selalu sederhana.