Mohon tunggu...
Asep Sukarna
Asep Sukarna Mohon Tunggu... Freelancer

Penjaga aroma yang tidak pernah selesai. Menulis bukan untuk menjelaskan, apalagi mengejar rating. Aku menulis hanya untuk menyeduh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Judul Bab 5 Menunggu Napas Sendiri

7 Agustus 2025   04:52 Diperbarui: 19 Agustus 2025   04:44 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kursi bergeser pelan, suara gesekannya menyentuh lantai seperti awal langkah yang tak diundang.

Raka berdiri, membawa tubuh memo yang sejak tadi menahan kata, dan tanpa bicara ia mendekat ke meja Suci. Tak ada permisi, tak ada basa-basi---hanya gerak yang menunjukkan bahwa diamnya sudah cukup lama.

Ia duduk perlahan. Jarak di antara mereka tak lagi ruang restoran, tapi ruang yang pernah mereka tinggalkan dua puluh tahun lalu. Teh tubruk di depan Suci masih hangat, tapi suasana mulai dingin---seperti waktu tahu bahwa ia akan dihampiri.

Raka menatap wajah Suci lekat-lekat. Tidak menilai, tidak membandingkan, hanya memastikan.

Matanya membaca pelipis, sudut bibir, dan gerak nafas. Rambut yang dulu sering ia lihat dari balik kaca jendela kost lantai dua, kini terikat rapi, tapi ada helai yang tetap memberontak. Ia tak bicara, tapi memo dalam dadanya mulai menyusun ulang kejadian lama---mereka pernah nyaris berbincang, tapi tak pernah bicara.

Suci mengangkat wajah, menatap balik. Ada jeda, panjang, seperti sedang membiarkan Raka selesai membaca wajahnya.

"Ya," katanya pelan, seperti menjawab sesuatu yang belum ditanya. "Aku masih orang yang sama. Tapi tak semua rasa masih utuh."

Raka menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi roti panggang di mejanya lebih dulu retak.

"Aku ingin yakin... bahwa kau bukan bayangan, tapi benar-benar kau."

Suci tersenyum, tidak lembut, tapi jujur. "Kalau aku bayangan, kau tak akan berani duduk di sini."

Ia sempat menahan tatapannya, menganalisis tubuh yang duduk di hadapannya: rambut gondrong, bahu lebih lebar, dada bidang. Dulu Raka kurus, tirus, langkah tergesa seperti mengejar laporan teknis. Ia bukan pekerja lapangan, ia koordinator proyek---memikul tanggung jawab, tapi tidak mengangkat beton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun